Sabtu, 16 Desember 2017

REsume Buku Psikologi Agama karya Prof. Dr. Jalaluddin, M.Ag



“RESUME BUKU PSIKOLOGI PENDIDIKAN”
  
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu :
Drs. Moh. Said, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Riska Uswatun Hasanah      (1511002504)




JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEMESTER V (LIMA) SORE
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MA’ARIF
KOTA JAMBI
2017



BAB 1
PENDAHULUAN
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap supernatural memang memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Para antropolog melihat hubungan manusia dengan zat yang supernatural itu dari sudut pandang kebudayaan. Hasil temuan mereka menunjukan bahwa pada masyarakat yang masih memiliki kebudayaan asli (primitif) dijumpai adanya pola kebudayaan yang mencerminkan bentuk hubungan masyarakat dengan sesuatu yang mereka anggap adikuasa dan suci. Sedangkan  para sosiolog menjumpai adanya semacam norma yang mengatur kehidupan masyarakat primitif. Norma-norma tersebut dilembagakan menjadi tata kehidupan bermasyarakat dan dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual.
Di lain pihak, para agamawan memperkuat hubungan tersebut. Berdasarkan informasi kitab suci, hubungan manusia dengan zat yang supernatural ini digambarkan sebagai hubungan antara makhluk ciptaan dengan Sang Pencipta. Dari kenyataan yang ada, para psikologi mencoba melihat hubungan manusia dengan kepercayaan ikut dipengaruhi dan juga mempengaruhi faktor kejiwaan. Proses dan sistem hubungan ini menurut mereka dapat dikaji secara empiris dengan menggunakan pendekatan psikologi. Perbedaan pendapat antara agamawan dan para psikologi agama sempat menunda munculnya psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Sehingga, psikologi agama sebagai cabang psikologi baru tumbuh sebagai disiplin ilmu sekitar penghujung abad ke-19.
Dalam bukunya si penulis membahas berbagai permasalahan yang dialami psikologi agama di awal-awal perkembangannya hingga menjadi disiplin ilmu yang otonom. Selanjutnya untuk kepentingan pendidikan agama, si penulis membahas perkembangan jiwa agama pada tingkat perkembangan anak-anak dan remaja. Selain itu akan dibahas berbagai kriteria yang dimiliki orang-orang yang matang beragama. Pembahasan juga akan meliputi hunungan agama dengan kesehatan mental serta bagaimana hubungan kepribadian dengan sikap keberagamaan seseorang.
Selanjutnya dalam bukunya, si penulis mengemukakan pembahasan tentang pengaruh kebudayaan terhadap jiwa keagamaan. Lebih lanjut akan dikemukakan pengaruh pendidikan terhadap pembentukan jiwa keagamaan seseorang, pengaruh agama terhadap kehidupan manusia. Akhirnya dalam pembahasan juga akan dikemukakan berbagai gangguan dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang hingga terjadi berbagai tingkah laku keagamaan yang menyimpang.






BAB 2
PSIKOLOGI AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU
  1. Psikologi Agama dan Cabang Psikologi
Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang bersangkutan dengan pikiran (Cognisi), perasaan (emotion) dan kehendak (conasi), gejala tersebut dapat diamati melalui sikap dan prilaku manusia. Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab. Namun seringkali ada diantara pernyataan dalam aktivitas yang tampak itu merupakan gejala campuran. Ahli psikologi membaginya menjadi empat gejala jiwa utama yaitu, pikiran, perasaan, kehendak, dan gejala campuran. Adapun yang termasuk gejala campuran disini seperti intelektual, kelelahan maupun sugesti.
Setelah lahirnya cabang-cabang psikologi dan kemudian menjadi disiplin ilmu yang otonom dan terapan (applied science), berkembang sejalan dengan kegunaannya. Dengan demikian psikologi yang diakui sebagai disiplin ilmu sejak tahun 1879 ini ternyata telah banyak memperlihatkan sumbangsinya dalam memecahkan berbagai problema dalam kehidupan manusia serta mengupayakan peningkatan SDM (Djamaludin Ancok, 1994:1). Berbagai cabang memisahan diri dari induknya kemudian menjadi disiplin yang otonom.
Seabad setelah psikologi diakui sebagai disiplin ilmu yang otonom, para ahli melihat bahwa psikologi memiliki keterkaitan dengan kehidupan batin manusia, yaitu agama. Kemudian para ahli pun mulai menekuni studi khusus tentang hubungan antara kesadaran agama dan tingkah laku agama. Kajian-kajian khusus mengenai agama melalui pendekatan psikologi ini sejak awal-awal abad ke-19 semakin berkembang, sehingga para ahli pun memalui karyanya membuka lapang baru dalam kajian psikologi, yaitu psikologi agama. Sebagaimana latar belakang perkembangan cabang psikologi yang lain, psikologi agama pun mandapat perhatian khusus dan menjadi disiplin ilmu yang otonom.
  1. Pengertian Psikologi Agama
Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama, kedua kata ini memiliki arti yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa, dan beradab (Jalaluddin, at al, 1979:77). Menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku  dan pengalaman manusia (Robert H. Thouless, 1992:13).
Menurut Harun Nasution pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al Din, religi (relegere, religare) dan agama. Al Din (semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukan, patuh, utang, balasan,kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (latin) atau relege berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a (tidak) gam (pergi) mengandung arti tidak pergi, diam ditempat atau diwarisi turun-temurun (Harun Nasution, 1975:9-10).
Robert H. Thouless berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan mengembangkan terhadap prilaku keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap prilaku bukan keagamaan (Robert H. Thouless:25).
  1. Ruang Lingkup dan Kegunaannya
Menurut Zakiah Drajat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian Psikologi Agama meliputi kajian:
a)      Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti misalnya, rasa lega dan tentram setelah sembahyang.
b)      Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya ras tentram dan kelegaan batin.
c)      Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
d)     Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
e)      Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya.
Semuanya itu menurut Zakiah Drajat tercakup dalam kesadaran agama (religious counsciousness) dan pengalaman agama (relegious experience).
  1. Psikologi Agama dan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam disini diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh meraka yang memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengarahan serta pengembangan potensi yang dimiliki. Jadi dalam pengertian ini pendidikan Islam tidak dibatasi oleh institusi ataupun pada lapangan pendidikan tertentu, pendidikan Islam diartikan dalam ruang lingkup yang luas, pendidikan Islam erat kaitannya dengan Psikologi Agama. Bahkan psikologi agama digunakan sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan islam.
Pendekatan psikologi agama dalam pendidikan islam ternyata telah dilakukan di periode awal perkembangan islam itu sendiri. Fungsi dan peran kedua oran tua sebagai teladan yang terdekat kepada anak telah diakui dalam pendidikan islam. Bahkan agama dan keyakinan seseorang anak dinilai sangat tergantung dari keteladanan orang tuanya. Tak mengherankan jika Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa keberagaman anak terpola dari tingkah laku bapaknya.
Pembentukan jiwa keagamaan pada anak diawali sejak ia dilahirkan, bimbingan kejiwaan diarahkan pada pembentukan nilai-nilai imani. Sedangkan keteladanan, pembiasaan, dan disiplin dititik beratkan pada pembentukan nilai-nilai amali. Keduanya memiliki hubungan timbal balik. Dengan demikian, kesadaran agama dan pengalaman agama dibentuk melalui proses bimbingan terpadu. Hasil yang diharapkan adalah sosok manusia yang beriman (kesadaran agama), dan beramal shaleh (pengalaman agama).




























BAB 3
PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA
  1. Sejarah Perkembangannya
Berdasarkan sumber Barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian mengenai psikologi agama mulai populer sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa itu psikologi yang semakin berkembang dignakan sebagai alat untuk kajian agama. Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berfikir, dan mengemukakan perasaan keagamaan (Robert H. Thouless, 1992:1). Sejak saat itu, kajian-kajian tentang psikologi agama tampaknya tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang menyangkut kehidupan keagamaan secara umum, melainkan juga masalah-masalah khusus.
Di tanah air sendiri tulisan mengenai psikologi agama ini baru di kenal sekitar tahun 1970-an, yaitu oleh Prof.Dr. Zakiah Daradjat. Ada sejumlah buku yang belau tulis untuk kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa dilingkungan IAIN. Diluar itu, kuliah mengenai psikologi agama juga sudah diberikan, oleh Prof.Dr. A. Mukti Ali dan Prof.Dr.Zakiah Dradjat sendiri. Seperti pernyataan Robert H. Thouless, bahwa kehirauan terhadap permasalahn yang berrkaitan dengan tingkah laku keagamaan sebagai permasalahan yang menyangkut kesadaran agama ternyata telah membuka jalan bagi pemanfaatan psikologi secara luas dalam tugas pemahaman terhadap permasalahan agama (Robert H. Thouless, 1992:12).
Seperti dimaklumi, bahwa psikologi agama tergolong cabang psikologi yang berusia muda. Berdasarkan informasi dari bergbagai literatur, dapat disimpulkan bahwa kelahiran psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Selain itu, pada tahap-tahap awalnya psikologi agama didukung oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Sumber-sumber Barat umumnya merujuk awal kelahiran psikologi agama adalah karya Edwin Diller Starbuck dan William James. Buku The Psychology of Religion: An Empirical Study of Growth of Religion Counsciousness karya E.D Strabuck diterbitkan tahun 1899, dinilai sebagai buku yang memang khusus membahas masalah yang menyangkut psikologi agama. Setahun kemudian (1900), William James menerbitkan buku The Varieties of Religious Experiencies. Buku yang berisi pengalaman keagamaan berbagai tokoh ini kemudian dianggap sebagai buku yang menjadi perintis awal dari kelahiran psikologi agama menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Psikologi agama diakui sebagai disiplin ilmu, cabang psikologi, seperti ilmu-ilmu cabang psikologi yang lainnya.
  1. Beberapa Metode dalam Psikologi Agama
1.      Dokumen Pribadi (Personal Document)
a)      Teknik Nomotatik
Nomotatik merupakan pendekatan psikologis yang digunakan untuk memahami tabiat atau sifat-sifat dasar manusia dengan cara mencoba menetapkan ketentuan umum dari hubungan antara sikap dan kondisi yang dianggap sebagai penyebab terjadinya sikap tersebut. Sedangkan sikap yang terlihat sebagai kecenderungan sikap umum itu di nilai sebagai gabungan sikap yang terbentuk dari sikap-sikap individu yang ada di dalamnya, Philip G. Ziambardo (dalam Jalaludin). Pendekatan ini digunakan untuk mempelajari perbedaan-perbedaan inidividu.
b)      Teknik Analisis Nilai (Value Analysis)
Teknik ini digunakan dengan dukungan analisis statistik. Data yang terkumpul diklasifikasikan menurut teknik statistik dan dianalisis untuk dijadikan penilaian terhadap individu yang diteliti. Teknik statistik digunakan berdasarkan perimbangan bahwa ada sejumlah pengalaman keagamaan yang dapat dibaha dengan menggunakan bantuan ilmu eksakta, terutama dalam mencari hubungan antara sejumlah variabel.
c)      Teknik Idiography
Teknik ini juga merupakan pendekatan psikolgis yang digunakan untuk memahami sifat-sifat dasar (tabiat) manusia. Berbeda dengan nomotatik, maka ideography lebih dipusatkan pada hubungan antara sifat-sifat dimaksud dengan keadaan tertentu dan aspek-aspek kepribadian yang menjadi ciri khas masing-masing individu dalam upaya untuk memahami seseorang.
d)     Teknik Penilaian terhadap Sikap (Evaluation Attitudes Technique)
Teknik ini digunakan dalam penelitian terhadap biografi, tulisan, atau dokumen yang ada hubungannya dengan individu yang akan diteliti. Berdasarkan dokumen tersebut kemudian ditarik kesimpulan, bagaimana pendirian seseorang terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam kaitan hubungannya dengan pengalaman dan kesadaran agama.
2.      Kuesioner dan Wawancara
a.       Pengumpulan pendapat masyarakat (Public Opinion Polls)
Teknik ini merupakan gabungan antara kuesioner dan wawancara. Cara mendapatkan data adalah melalui pengumpulan pendapat khalayak ramai. Data tersebut selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi yang sudah dibuat berdasarkan kepentingan penelitian.
b.      Skala penilaian (Rating Scale)
Teknik ini digunakan untuk memperoleh data tentang faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan khas dalam diri seseorang berdasarkan pengaruh tempat dan kelompok, misalnya. Dengan adanya penyebab yang khas ini peneliti  dapat memahami latar belakang timbulnya perbedaan antarpenganut suatu keyakinan agama. Misalnya sikap liberal lebih banyak dijumpai di kalangan penganut Protestan, dan sikap konservatif lebih banyak dijumpai di kalangan penganut agama Katolik.

c.       Tes (Test)
Tes digunakan dalam upaya mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu. Untuk memperoleh gambaran yang diinginkan, biasanya diperlukan bentuk tes yang sudah disusun secara sistematis.
d.      Eksperimen
Teknik eksperimen digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang melalui perlakuan khusus yang sengaja dibuat.
e.       Observasi melalui pendekatan sosiologi dan antropologi (Sociological and anthropological observation)
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sosiologi dengan mempelajari sifat-sifat manusiawi orang per orang atau kelompok.
f.       Studi agama berdasarkan pendekatan antropologi budaya
Cara ini digunakan dengan membandingkan antara tindak keagamaan (upacara, ritus) dengan menggunakan pendekatan psikologi. Melalui pengukuran statistik kemudian dibuat tolok ukur berdasarkan pendekatan psikologi yang dihubungkan dengan kebudayaan. Misalnya, adanya persaudaraan antara sesama orang yang ber-Tuhan, masalah ke-Tuhanan dan agama, adanya kebenaran keyakinan yang terlihat dalam bentuk formalitas, bentuk-bentuk praktek keagamaan, dan sebagainya.
  1. Psikologi Agama dalam Islam
Secara terminologis, psikologi agama memang tidak dijumpai dalam kepustakaan Islam klasik. Karena latar belakang sejarah perkembangannya bersumber dari literatur barat. Dan di kalangan ilmuan barat yang pertama kali menggunakan sebutan psikologi agama adalah Edwin Diller Starbuck, melalui karangannya psychology of religion yang diterbikan tahun 1899.  Meskipun dikalangan ilmuan muslim kajian-kajian dalam psikologi agama mulai dilakukan secara khusus sekitar abad pertengahan abad ke-20, namun permasalahan yang ada sangkut pautnya dengan kajian ini sudah ada sejak awal perkembangan Islam. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai konsep ajaran islam yang dapat dijadikan acuan dalam studi psikologi agama.
Pendekatan psikologi Barat bagaimanapun juga belum dapat menggambarkan konsep manusia secara utuh dan lengkap. Hal ini menunjukan bahwa kelemahan psikologi dalam menerangkan siapa sesungguhnya manusia dan bagaimana seharusnya manusia menata dirinya sehingga mencapai kesuksesan dalam kehidupannya. Beranjak dari konsep Islam tentang manusia, terungkap bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang memiliki hubungan makhluk-khalik secara fitrah. Untuk menjadikan hubungan tersebut berjalan normal, maka manusia dianugrahi beberapa potensi yang dipersiapkan untuk kepentingan pengaturan hubungan tersebut.anugrah tersebut diantaranya: berupa dorongan naluri, perangkat inderawi, kemampuan akal, dan fitrah agama yang jika dikembangkan melalui bimbingan yang baik akan mampu mengantar manusia mencapai sukses dalam kehidupannya sebagai makhluk yang taat mengabdi kepada penciptanya.




























BAB 4
PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK DAN REMAJA
A.              Teori Tentang Sumber Kejiwaan Agama
1.      Teori Monistik
a)      Thomas Van Aquino
Mengemukakan bahwa yang menjdi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan kemampuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan kegiatan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri.
2.      Fredrick Hegel
Filosofis Jerman ini berpendapat, agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi. Berdasarkan hal itu, agama semata-mata merupakan hal-hal atau persoalan yang berhubungan dengan pikiran.
3.      Rudolf Otto
Sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other (yang sama sekali lain). Perasaan semacam itulah yang menurut pendapatnya sebagai sumber dari kejiwaan agama pada manusia.
4.      Fredrick Schleimacher
Yang menjadi sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah, sehingga manusia akan selalu bergantung kepada suatu kekuasan yang ada di luar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan itulah maka timbul konsep tentang Tuhan.
5.      Sigmund Frued
Unsur kejiwaan yang menjadi sumber kajiwaan agama ialah libido sexuil (naluri seksual), berdasarkan libido ini timbullah ide tentang ke-Tuhanan dan upacara keagamaan setelah melalui proses:
1.      Oedipoes Complex, yakni mitos Yunani kuno yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta kepada ibunya, maka oedipoes membunuh ayahnya. Kejadian itu berawal dari manusia primitif, mereka bersekongkol untuk membunuh ayah yang berasal dalam masyarakat promiscuitas. Stelah ayah mereka mati, maka timbul rasa bersalah (sense of guilt) pada diri anak-anak itu.
2.      Father Image (Citra Bapak), setelah mereka membunuh ayah mereka dan dihantui oleh rasa bersalah itu, maka timbullah rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide untuk memuja arwah ayah mereka , karena khawatir akan pembalasan arwah tersebut. Realisasi dari pemujaan tersebut sebagai asal dari upacara keagamaan. Jadi, menurut Freud agama muncul dari ilusi (khayalan) manusia.
6.      William Mac Dougall
Sumber kejiwaan agama merupakan kumpulan dari beberapa instink. Menurut Mac Dougall, pada diri manusia terdapat 14 macam instink, maka agama timbul dari instink secara terintegrasi.
B.               Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
1.    Rasa Ketergantungan (Sense of Depend)
Teori ini dilemukakan oleh Thomas melalui teori four wishes. Menurutnya manusia dilahirkan kedunia mempunyai empat keinginan yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response), keinginan untuk dikenal (recognation).
2.    Instink Keagamaan
Menurut Woodwoorth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting diantaranya insting keagamaan.
C.               Perkembangan Agama pada Anak
1.    The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng- dongeng yang kurang masuk akal.
2.    The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika. Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3.    The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
1)   Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
2)   Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
3)   Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
  1. Sifat-sifat Agama pada Anak-anak
a.       Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
b.      Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c.       Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
d.      Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e.       Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
f.       Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.
  1. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Remaja
a.       Pertumbuhan Pikiran dan Mental
b.      Perkembangan Perasaan
c.       Pertimbangan Sosial
d.      Perkembangan Moral:
1)      Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2)      Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3)      Submissive, perasaan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama
4)      Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5)      Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan secara tatanan moral masyarakat
6)      Sikap dan Minat
7)      Ibadah
  1. Konflik dan Keraguan
1)      Kepercayaan, menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya terutama (dalam agama Kristen) status ke-Tuhanan sebagai Trinitas.
2)      Tempat Suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat suci agama.
3)      Alat perlengkapan keagamaan, seperti fungsi salib dan rosario dalam kristen.
4)      Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan.
5)      Pemuka agama, Biarawan dan Biarawati.
6)      Peradaban aliran dalam keagamaan, sekte (dalam agama Kristen), atau madzhab (Islam).
Konflik ada beberapa macam diantaranya:
1)      Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.
2)      Konflik antara pemilihan satu diantara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan.
3)      Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekularisme.
4)      Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.




























BAB 5
PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ORANG DEWASA DAN USIA LANJUT
A.    Macam-macam Kebutuhan
1.      Kebutuhan Individual, terdiri dari:
a.       Homeostatis, yaitu kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan.
b.      Regulasi temperatur, adalah penyesuaian tubuh dalam usaha mengatasi kebutuhan akan perubahan temperatur badan.
c.       Tidur merupakan kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar dari gejala halusinasi.
d.      Lapar adalah kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh sebagai organis. Lapar akan menyebabkan gangguan pada fisik maupun mental.
e.       Seks merupakan salah satu kebutuhan yang timbul dari golongan mempertahankan jenis. Sigmund Freud menganggap kebutuhan ini sebagai kebutuhan vital pada manusia.
f.       Melarikan diri yaitu kebutuhan manusia akan perlindungan, keselamatan jasmani dan rohani. Usaha menghindarkan diri dari bahaya merupakan reaksi yang wajar sebagai usaha proteksi.
g.      Pencegahan, yaitu kebutuhan manusia untuk mencegah terjadinya reaksi melarikan diri. Dengan cara menekan, menantang atau menyalurkannya.
h.      Ingin tahu (curiosity), yaitu kebutuhan rohani manusia untuk ingin selalu mengetahui latar belakang kehidupannya. Kebutuhan ini mendorong manusia untuk mengembangkan dirinya.
i.        Humor, yaitu kebutuhan manusia untuk mengendorkan beban kejiwaan yang dialaminya dalam bentuk verbal atau perbuatan.
2.      Kebutuhan Sosial
a.       Pujian dan Hinaan, menurut Guilford, kedua unsur ini merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan sistem moral manusia.
b.      Kekuasaan dan Mengalah, Alfred Adler mengatakan, bahwa secara naluriah manusia itu ingin berkuasa dan Nietrzche menyebutkan sebagai motif primer dalam kehidupan manusia. Sedangkan Guilford berpendapat bahwa kebutuhan kekuasaan dan mengalah ini tercermin dari adanya perjuangan manusia yang tak ada henti-hentinya dalam kehidupan.
c.       Pergaulan, kebutuhan yang mendorong manusia untuk hidup dan bergaul sebagai homo-socius (makhluk bermasyarakat) dan zon-politicon (makhluk yang berorganisasi).
d.      Imitasi dan Simpati, kebutuhan manusia dalam pergaulannya yang tercermin dalam bentuk meniru dan mengadakan respon-emosionil.
e.       Perhatian, kebutuhan akan perhatian merupakan salah satu kebutuhan sosial yang terdapat pada setiap individu. Besar kescilnya perhatian masyarakat terhadap seseorang akan mempengaruhi sikapnya.
B.     Sikap Keberagamaan pada Orang Dewasa
Dengan tingkat perkembangan usianya maka sikap keberagamaan orang dewasa antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2.      Cendrung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hinga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.      Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.      Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.      Sikap keberagamaan cendrung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami dan melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.      Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
C.     Manusia Usia Lanjut dan Agama
M. Argyle mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Cavan yang mempelajari 1.200 orang sampel berusia antara 60-100 tahun. Temuan menunjukan secara jelas kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini. Sedangkan, pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun (Robert H. Thouless, 1992: 108). Para ahli psikologi menghubungkan kecendrungan peningkatan keagamaan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini karena usia lanjut mengalami frustasi seksual dan penurunan kemampuan fisik sehingga membentuk sikap keagamaan. Robert H. Thouless berpendapat bahwa meskipun kegiatan seksual secara biologis tidak produktif lagi tapi kebutuhan untuk dicintai dan mencintai masih ada (Robert H. Thouless, 1992: 108).
Mengenai kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini William James menyatakan bahwa umur keagamaan yang sangat luar biasa tamoaknya justru terdapat pada usia, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir (Robert H. Thouless, 1992: 107). Secara garis beasar ciri-ciri keberagamaan pad usia lanjut adalah:
1.      Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.      Meningkatnya kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.      Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.      Sikap keagamaan cendrung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.      Timbul rasa takut pada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6.      Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adamya kehidupan abadi (akhirat).  
D.    Perlakuan Terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Dilingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberikan perlakuan manusiawi pada para manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka di panti jompo. Di panti ini para manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang intensif. Tindakan ini diambil karena rasa kekhawatiran akan ketidak harmonisan dalam keluarga yang terdapat manusia usia lanjut yang memiliki sikap dan tingkah laku yang berbeda dengan mereka yang masih muda, anak atau cucu mereka. Meskipun mereka meninginkan orang tuanya terawat dengan baik.
Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh Islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lamjut dibebankan kepada anak-anak mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak meraka dengan memperlakukan orang tua mereka layaknya seorang bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih sayang. Penjelasan ini menunjukan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut merupakan kewajiban agama menurut Islam. Maka sangat tercela dan durhaka jika seorang anaka menelantarkan orang tua mereka di panti jompo.

BAB 6
KRITERIA ORANG YANG MATANG BERAGAMA
A.    Ciri-ciri dan Sikap Keberagamaan
1.      Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cendrung menampilkan sikap:
a.       Pesimis, dalam mengamalkan ajaran agama mereka cendrung untuk berpasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima. Mereka menjadi tahan menderita dan segala penderitaan menyebabkan peningkatan ketaatannya.
b.      Introvert, sifat pesimis membuat mereka untik bersikap objektif. Segala bahaya dan penderitaan selalu dihubungkan dengan dosa yang telah diperbuatnya, dengan demikian mereka menebusnya dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan dengan pensucian diri.
c.       Menyenangi faham yang ortodoks, sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
d.      Mengalami proses keagamaan secara non-graduasi, timbulnya keyakinan beragama pada mereka ini berlangsung melalui proses pendadakan dan perubahan yang tiba-tiba, tidak secara bertahap atau melalui prosedur yang biasa.
2.      Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy- Minded-Ness)
a.    Optimis dan gembira
b.    Ekstrovet dan mendalam, karena sikap optimis dan terbuka menyebabkan mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk yang tergores sebagai ekses relijiusitas tindakannya.
c.    Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal:
1)      Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.
2)      Menunjukan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
3)      Menekankan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
4)      Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
5)      Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
6)      Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama.
7)      Selalu berpandangan positif.
8)      Berkembang secara graduasi.
B.     Mistisisme dan Psikologi Agama
Mistisisme merupakan salah satu sisi dan pokok bahasan dalam psikologi agama. Mistisisme dijumpai dalam semua agama, baik agama teistik (Islam, Kristen dan Yahudi) maupun di kalangan mistik non-teistik (Budha, Hindu). Ciri khas mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi agama adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang menjadi puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan. Kondisi ini digambarkan oleh mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu dengan Tuhan.
Mistisisme dalam kajian psikologi agama dilihat dari hubungan sikap dan prilaku agama dengan gejala kejiwaan yang melatar belakanginya, bukan dilihat dari absah tidaknya mistisisme itu berdasarkan pandangan agama masing-masing. Dengan demikian, mistisisme menurut pandangan psikologi agama, hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-gejala kejiwaan tertentu yangterdapat pada tokoh-tokoh tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut. Mistisime merupakan gejala umum yang terlihat dalam kehidupan tokoh-tokoh mistik, baik yang teistik maupun non-teistik.

















BAB 7
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
A.    Manusia dan Agama
Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari pada agama karena rasa ketidak berdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian segala bentuk prilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pikirannya (Djamaluddin Ancok, 1994:71).
Agama nampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama nampaknya di karenakan faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun, untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya sulit dilakukan. Manusia ternyata memiliki unsur batin yang cendrung mendorongnya untuk tunduk kepada zat yang gaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self) ataupun hati nurani (conscience of man).
B.     Agama dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Mental
Kesehatan mental adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan secara prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani (M. Buchori, 1982:13). Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tentram ((M. Buchori, 1982:5). Dr. Breuer dan S. Freud memperkenalkan pengobatan dengan hipotheria yaitu pengobatan dengan cara hipnotis. Dan kemudian dikenal pula adanya istilah psikoterapi atau autoherapia (penyembuhan diri sendiri) yang dilakukan tanpa menggunakan bantuan obat-obatan biasa.
Sesuai dengan istilahnya, maka psikoterapi dan autoherapia digunakan untuk menyembuhkan pasien yang menderita penyakit gangguan ruhani (jiwa). Sejumlah kasus yang menunjukan adanya hubungan antara faktor keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu.
C.     Terapi Keagamaan
Orang yang tidak merasa tenang, aman serta tentram dalam hatinya adalah orang yang sakit ruhani atau mentalnya, menurut H. Carl Witherington (M. Buchori, 1982: 5). Para ahli psikiatri mengakui bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu yang diperlukan untuk melangsungkan proses kehidupan secara lancar.
Di dalam Al Qur’an sebagai dasar dan sumber ajaran Islam banyak ditemui ayat-ayat yang berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan jiwa sebagai hal yang prinsipil dalam kesehatan mental ayat-ayat tersebut:
1.                  Ayat tentang Kebahagiaan
a.    QS. Al Qashash: 77. Dalam ayat ini Allah memerintahkan orang Islam untuk merebut kebahagiaan akhirat dan kenikmatan dunia dengan jalan berbuat baik dan menjauhi perbuatan mungkar.
b.    QS. An Nahl: 97. Dijelaskan dalam ayat ini, bahwa Allah menjanjikan kehidupan yang baik kepada orang yang berbuat amal shaleh yang beriman.
c.    QS. Ali ‘Imran: 104. Pada ayat inipun dikatakan, bahwa Allah menjanjikan kepada orang yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
2.             Ayat tentang Ketenangan Jiwa
a.    QS. Al Ra’d: 28. Dalam ayat tersebut Allah dengan jelas menegaskan bahwa, ketenangan jiwa dapat dicapai dengan dzikir (mengingat) Allah.
b.    QS. Al ‘Araf: 35. Pada ayat ini dikatakan bahwa, rasa takwa dan perbuatan baik adalah metode pencegahan dari rasa takut dan sedih.
c.    QS. Al Baqarah: 15. Ditegaskan pula dalam ayat ini bagaimana cara seseorang mengatasi kesukaran dan problema kehidupan sehari-hari, yaitu dengan kesabaran dan shalat.
d.    QS. Al Fath: 4. Pada ayat ini Allah menyifati diri-Nya bahwa Dia-lah Tuhan yang Maha mengetahui dan bijaksana yang dapat memberikan ketenangan jiwa ke dalam hati orang yang beriman.
D.    Musibah
Musibah merupakan pengalaman yang dirasakan tidak menyenangkan karena dianggap merugikan oleh korban yang terkena musibah. Berdasarkan asal katanya, musibah berarti lemparan (arramyah) yang kemudian digunakan dalam makna bahaya, celaka atau berencana dan bala. Menurut Al Qurtubi, musibah adalah apa saja yang menyakiti dan menimpa diri seseorang, atau sesuatu yang berbahay dan menyusahkan manusia, betapapun kecilnya (Ensiklopedi Al Qur’an, 1997:283).
Dari pendekatan agama, musibah dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, musibah yang terjadi sebagai akibat dari ulah tangan manusia. Karena kesalahan yang dilakukannya manusia harus menanggung akibatnya. Kedua, musibah sebagai ujian dari Tuhan. Musibah ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbuatan keliru manusia. Oleh karena itu, musibah ini sering dihubung-hubungkan dengan takdir (ketentuan Tuhan).

E.     Kematian
Kematian adalah sebuah keniscayaan. Kematian membawa manusia ke alam kehidupan yang baru yang sama sekali asing. Namun, manakala masih berada dalam kenikmatan hidup, manusia sering lengah dan lupa dengan kematian.
1.      Kematian dalam Agama
Setiap agama mengajarkan tentang adanya hari kebangkitan. Alam baru dalam kehidupan “lain” yang akan di alami oleh manusia mati. Dipercaya bahwa pada saat itu manusia akan dihidupkan kembali guna diminta pertanggung jawabannya.
2.      Psikologi Kematian
Secara psikologis, manusia usia lanjut terbebankan oleh rasa ketidak berdayaan. Kelemahan fisik, keterbatasan gerak, dan menurunnya fungsi alat indera, menyebabkan manusia usia lanjut merasa terisolasi. Saat itu, penghayatan terhadap segala sesuatu yang terkait dengan nilai-nilai spiritual mulai jadi perhatian. Kegelisahan dan kekosongan batin seakan terobati oleh keakraban dengan aspek-aspek ruhaniah.
Kekosongan batin akan kian terasa ketika dihadapkan pada peristiwa kematian. Terutama bila dihadapkan pada kematian orang-orang terdekat atau dicintai. Muncul semacam rasa kehilangan yang terkadang begitu berat dan sulit diatasi.














BAB 8
KEPRIBADIAN DAN SIKAP KEAGAMAAN
A.  Pengertian dan Teori Kepribadian
Individuality adalah sifat khas seseorang yang menyebabkan seseorang mempunyai sifat berbedada dari orang lain. Wetherington mendefinisikan kepribadian itu adalah istilah untuk menyebutkan tingkah laku seseorang secara terintegrasikan dan bukan hanya beberapa aspek saja dari keseluruhan itu. Menurut William Stern, kepribadian adalah suatu kesatuan banyak (multi complex) yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu dan mengandung sifat-sifat khusus individu, yang bebas menentukan dirinya sendiri. Sedangkan menurut Prof. Kohnstamm, orang yang berkepribadian adalah orang yang berkeyakinan ke-Tuhanan.
B.  Tipe-tipe Kepribadian
a.       Tipe pemikiran terbuka, dengan sifat-sifatnya: yang cendrung berbuat secara praktis dan memanfaatkannya dalam kehidupan.
b.      Tipe pemikiran tertutup, dengan sifat-sifatnya: cendrung menekuni pemikiran yang bersifat abstrak sehingga kurang memanfaatkan implementasi pemikiran dalam bentuk perbuatan nyata.
c.       Tipe perasaan terbuka, dengan sifat-sifatnya: yang cendrung untuk ikut merasakan perasaan orang lain.
d.      Perasaan tertutup, dengan sifat-sifatnya: kehidupan mentalnya dikuasai oleh perasaan yang mendalam, sehingga mereka senang menyendiri, mencintai dan membenci sesuatu secara bersangkutan karena selalu dikuasai oleh perasaan yang tajam.
e.       Tipe penginderaan terbuka, dengan sifat-sifatnya: memiliki kehidupan pikiran dan perasaan yang dangkal. Kehidupan mentalnya dipengaruhi perangsangan lingkungan yang diterimanya dan mudah bosan terhadap sesuatu, jiwa labil dan kurang mantap.
f.       Tipe penginderaan tertutup, dengan sifat-sifatnya: cendrung untuk menenggelamkan diri oleh pengaruh perangsang luar sebagai  hasil penginderaan.
g.      Tipe intuisi terbuka, dengan sifat-sifatnya: cendrung untuk bersifat avont turir karena mereka selalu akan melaksanakan secara langsung setiap apa yang terlintas dalam pikirannya. Mereka selalu yakin terhadap kebenaran lintasan pikiran itu.
h.      Tipe intuisi tertutup, dengan sifat-sifatnya: cendrung untuk membuat keputusan yang cepat dan tajam tanpa didasarkan atas bukti yang objektif.
C.  Hubungan Kepribadian dan Sikap Keagamaan
1.                Sigmund Freud
Sigmund Freud merumuskan sistem kepribadian menjadi tiga macam, yaitu:
a.       Id (Das Es). Sebagai suatu sistem id mempunyai fungsi menunaikan prinsip kehidupan asli manusia berupa penyaluran dorongan naluriah.
b.      Ego (Das Es). Merupakan sistem yang berfungsi menyalurkan dorongan id ke dalam keadaan yang nyata.
c.       Super Ego (Das Uber Ich). Sebagai suatu sistem yang memiliki unsur moral dan keadilan, maka sebagian besar super ego mewakili alam ideal.
2.                H.J Eysenck
a.       Specific response, yaitu tindakan atau respon yang terjadi pada suatu keadaan atau kejadian tertentu, jadi khusus sekali.
b.      Habitual response, yaitu respon yang berulang-ulang terjadi saat individu menghadapi kondisi atau situasi yang sama.
c.       Trait, yaitu terjadi saat habitual respon yang saling berhubungan satu sama lain, dan cendrung ada pada individu tertentu.
d.      Type, yaitu organisasi di dalam individu yang lebih umum dan mencakup.
3.      Sukanto M.M
a.       Qalb (angan-angan kehatian).
b.      Fuad (perasaan/hati nurani/ulu hati).
c.       Ego (aku sebagai pelaksana dari kepribadian).
d.      Tingkah laku (wujud dari gerakan)/
D.  Dinamika Kepribadian
Unsur-unsur dinamika kepribadian seseorang, yaitu:
1.    Energi ruhaniah, yang berfungsi sebagai pengatur aktivitas ruhaniah. Seperti berpikir, mengingat, mengamati, dan sebagainya.
2.    Naluri, yangberfungsi sebagai pengatur kebutuhan primer. Seperti makan, minum, dan seks.
3.    Ego, yang berfungsi untuk meredakan ketegangan dalam diri dengan cara melakukan aktivitas penyesuaian doronga-dorongan yang ada dengan kenyataan objektif (realitas).
4.    Super ego, yang berfungsi sebagai pemberi ganjaran batin baik berupa penghargaan (rasa puas, senang, berhasil) maupun berupa hukuman (rasa bersalah, berdosa, menyesal).

BAB 9
PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
A.    Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
Tradisi menurut Parsudi Suparlan, Ph.D merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah (Parsudi Suparlan, 1987: 115). Meredith Mc Guire melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama (Mc Guire, 1984: 338). Menurut Parsudi Suparlan, para sosiolog mengidentifikasikan adanya pranata primer. Menurut Rodaslav A. Tsanoff, pranata keagamaan ini mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan ke-Tuhanan atau keyakinan, keagamaan, perasaan yang bersifat mistik (Mc Guire, 1984: 4). Dengan demikian, tradisi keagamaan sulit berubah karena selain didukung oleh masyarakat juga memuat sejumlah unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat.
Tradisi keagamaan (bagi agama samawi) bersumber dari norma-norma yang termuat dalam kitab suci. Bila kebudayaan sebagai cetak biru bagi kehidupan (Kluckhohn) atau sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat (Parsudi Suparlan). Dengan demikian, hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat tradisi keagamaan, makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya dalam kebudayaan. Sebaliknya, makin sekuler suatu masyarakat maka pengaruh tradisi keagamaan dalam kehidupan masyarakat akan kian memudar.
B.     Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi, sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan pada seseorang. Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sekap keagamaan ini kan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama.
Tradisi keagamaan dalam pandangan Robert C. Monk memiliki dua fungsi utama yang mempunyai peran ganda, yaitu bagi masyarakat maupun individu. Fungsi yang pertama, sebagai kekuatan yang mampu membuat kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu. Sedangkan fungsi yang kedua, tradisi keagamaan berfungsi sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau dari individu, bahkan dalam situasi terjadinya konflik sekalipun (Robert C. Monk, 1979: 262). Dalam konteks pendidikan, tradisi keagamaan merupakan isi pendidikan yang bakal diwariskan generasi tua ke generasi muda.


BAB 10
PROBLEMA DAN JIWA KEAGAMAAN
A.    Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Menurut Prof. Dr. Mar’at, meskipun belum lengkap Allport telah menghimpun sebanyak 13 pengertian megenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 11 rumusan mengenai sikap, yaitu:
a.       Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan (attituides are learned).
b.      Sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide (attituade have referent).
c.       Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di rumah, sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan (attituides are social learnings).
d.      Sikap sebagai wujud dari kesepian untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap objek (atituides have readiness to respond).
e.       Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif, seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu (attituides are affective).
f.       Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap objek tertentu yakni kuat atau lemah (attituides are very intensive).
g.      Sikap bergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasidan saat tertentu mungkin sesuai, sedangkan disaat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok (attituides have a time dimension).
h.      Sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu (attituides have duration factor).
i.        Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu (attituides are complex).
j.        Sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan (attituides are evaluation).
k.      Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna atau bahkan tidak memadai (attituides are inferred).
B.     Sikap Keagamaan yang Menyimpang
Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan agama yang dianutnya mengalami perubahan. Perubahan sikap seperti itu bisa terjadi pada orang per-orang (dalam diri individu) atau pada kelompok atau masyarakat. Sedangkan perubahan sikap itu memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang mngkin berbeda dan bergerak secara continue dari positif melalui arel netral ke arah negatif 9Mar’at, 1982:17). Dengan demikian, sikap keagamaan yang menyimpang sehubungan dengan perubahan sikap tidak selalu berkonotasi buruk.
C.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang Menyimpang
1)      Faktor Intern
a.       Kepribadian, secara psikologi tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi jiwa seseorang.
b.      Faktor bawaan, ada semacam kecendrungan urutan kelahiran mempengaruhi penyimpangan agama.
2)      Faktor Ekstern
a.       Faktor Keluarga.
Keretakan keluarga, ketidak serasian, berlainan agama, kesepian, kurang mendapat pengakuan kerabat dan lainnya.
b.      Lingkungan tempat tinggal
c.       Perubahan Status, misalnya: perceraian.
d.      Kemiskinan















BAB 11
PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
A.    Pendidikan Keluarga
Bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan yang bersifat bawaan (W.H. Clark, 1964:2). Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua sebagai pendidik kodrati.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H. Clark berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan, manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang (W.H. Clark, 1964:4). Dalam kaitan itu pula terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak.
B.     Pendidikan Kelembagaan
Fungsi dan peran sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
C.     Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidikan danlingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentuka jiwa keagamaan mereka.
D.    Agama dan Masalah Sosial
Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religious consciouness) dan pengalaman agama (religious experience), ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus. Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuh kembangkannya, khususnya pendidikan. Adapun pendidikan yang paling berpengaruh yakni pendidikan dalam keluarga. Apabila di lingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama biasanya sulit untuk memperoleh kesadarn dan pengalaman agama yang memadai.




























BAB 12
GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
A.    Faktor Intern
1.      Faktor Hereditas
2.      Tingkat Usia
3.      Kepribadian
4.      Kondisi Kejiwaan
B.     Faktor Ekstern
1.      Lingkungan Keluarga
2.      Lingkungan Institusional
3.      Lingkungan Masyarakat
C.     Fanatisme dan Ketaatan
Suatu tradisi keagamaan membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga yang lain (sosialisasi). Selain itu juga terkjadi hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi keagamaan dan sejenisnya.
David Riesman melihat ada tiga model konfirmitas karakter yaitu: 1. Arahan tradisi (tradition directed) 2. Arahan dalam (inner directed) 3. Arahan orang lain (other directed). Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agama agaknya tak dapat dilepaskan dari peran aspek emosional. Jika kecendrungan taklid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik. Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama.











BAB 13
AGAMA DAN PENGARUHNYA DALAM KEHIDUPAN
  1. Agama dalam Kehidupan Individu
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.
Menurut Mc Guire, sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi individu dan masyarakat perangkat sistem nilai dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat (Mc Guire:26). Pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan individu karena nilai sebagai realitas yang abstrak dirasakan sebagai daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam realitasnya nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola berfikir dan pola bersikap (E. M Kaswadi, 1993:20).
  1. Fungsi Agama dalam Kehidupan Masyarakat
Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:
1.      Berfungsi Edukati
2.      Berfungsi Penyelamat
a.       Theopahania spontanea: kepercayaan bahwa Tuhan dapat dihadirkan dalam benda-benda tertentu: tempat angker, gunung, arca dan lainnya.
b.      Theophania innocativa: kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam lambang karena dimohon, baik melalui invocativa magis (mantera, dukun) maupun invocativa religius (permohonan, doa, kebaktian dan sebagainya).
3.      Berfungsi sebagai Pendamaian
4.      Berfungsi sebagai Social Control
a.       Agama secara instansi, merupakan norma bagi penganutnya.
b.      Agama secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis (wahyu, kenabian).
5.      Berfungsi sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas
6.      Berfungsi Transformatif
7.      Berfungsi Kreatif
8.      Berfungsi Sublimatif

  1. Agama dan Pembangunan
Prof. Dr. Mukti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah:
1.      Sebagai ethos pembangunan. Maksudnya adalah bahwa agama yang menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dan sikap.
2.      Sebagai motivasi. Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik.
Sumbangan harta benda dan milik untuk kepentingan masyarakat yang berlandaskan ganjaran keagamaan telah banyak dinikmati dalam pembangunan, misalnya:
a.       Hibbah dan wakaf tanah untuk pembangunan jalan, sarana ibadah ataupun lembaga pendidikan.
b.      Dana yang terpakai untuk pembangunan lembaga pendidikan dan rumah-rumah ibadah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya.
c.       Pengerahan tenaga yang terkoordinasi oleh pemuka agama dalam membina kegotongroyongan.















BAB 14
TINGKAH LAKU KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG
  1. Aliran Klenik
Klenik diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal (KBRI, 1989:04). Aliran klenik sebagai bagian dari bentuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang akan senantias muncul dalam setiap masyarakat, apapun latar belakang kepercayaannya. Prilaku keagamaan yang menyimpang ini umumnya menyebabkan orang menutup diri dari pergaulan dengan dunia luar. Dengan demikian, mereka membentuk kelompok yang eksklusif, dalam kondisi yang seperti itu mereka sulit untuk didekati.
Aliran-aliran klenik ini kemudian dapat pula berkembang menjadi aliran kepercayaan dan aliran kebatinan. Dan menurut Prof. Dr. Hamka, aliran ini timbul oleh kekacauan pikiran lantaran kacaunya ekonomi, sosial, dan politik, hingga mendorong masyarakat untuk melepaskan pikirannya dari pengaruh kenyataan, lalu masuk ke dalam daerah khayalan tasawuf. Kadang-kadang mereka merasa menganut agama yang berdiri sendiri, bukan Islam, bukan Budha, bukan Kristen (Hamka, 1976:133-234).
  1. Konversi Agama
1)      Pengertian Konversi Agama
a.       Secara etimologi berasala dari kata “conversio” yang berarti: tobat, pindah, dan berubah (agama). Dalam bahasa Inggris “conversion” yang berarti: berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain.
b.      Secara terminologi, menurut Max Heirich adalah suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau prilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
Selain itu, konversi agama memuat beberapa pengertian dengan ciri-ciri:
1.      Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
2.      Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak.
3.      Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain, juga perpindahan pandangan terhadap agama yang dianutnya.
4.      Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itupun disebabkan faktor petunjuk dari yang Maha Kuasa


2)      Faktor yang Menyebabkan terjadinya Konversi Agama
a.       Para ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi.
b.      Menurut para ahli sosiologi terjadinya konversi agama adalah pengaruh sosial yang terdiri dari beberapa faktor antara lain:
1.      Pengaruh pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non-agama.
2.      Pengaruh kebiasaan yang rutin.
3.      Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang yang terdekat.
4.      Pengaruh pemimpin keagamaan.
5.      Pengaruh perkumpulan yang bedasarkan hobi.
6.      Pengaruh kekuasaan pemimpin.
  1. Konflik Agama
1.      Pengetahuan Agama yang Dangkal
2.      Fanatisme
3.      Agama sebagai Doktrin.
Ada kecendrungan di masyarakat, bahwa agama dipahami sebagai doktrin yang bersifat normatif. Pemahaman demikian menjadikan ajaran agama sebagai ajaran yang kaku.
4.      Simbol-simbol
5.      Tokoh Agama .
Tokoh agama kemungkinan akan mengeluarkan sejumlah fatwa agama yang dapat mengobarkan semangat para pengikutnya.
6.      Sejarah
7.      Berebut Surga
  1. Terorisme dan Agama
Terorisme berasal dari kata teror, secara etimologis mencakup arti: 1. Perbuatan (pemerintah dan sebagainya), 2. Usaha menciptakan ketakutan, dan kekejaman oleh seseorang atau kelompok. Sedangkan terorisme berarti penggunaan kekerasan atau menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai satu tujuan, terutama tujuan politik (KBBI, 1990:939).
1.      Fundamentalis
Fundamentalis menurut Thomas Meyer sebenarnya telah ada sejak modernisasi budaya sebagai implus terbalik yang inheren. Kemudian Thomas merinci empat karakter gerakan fundamentalis: 1) penggunaan tidak tepat atas keseluruhan isi Al Kitab, 2) pernyataan bahwa senua teologi, agama, dan ilmu pengetahuan adalah tidak berlaku, 3) keyakinan. 4) keyakinan yang pasti untuk membatalkan pemisahan modern atas gereja dan negara, agama dan politik, dengan cara menginterpretasikan agama sebagai jalan masing-masing bilamana ketentuan hukum/politik dalam masalah krusuial bertentangan etika masing-masing.
2.      Radikalisme
Gerakan radikalisme menuntut persamaan hak, fungsi, dan peran dengan kaum pria. Radikalisme sebagai paham atau aliran, sebenarnya berpeluang muncul dalam berbagai bidang kehidupan. Tuntutan terhadap perubahan yang drastis dan cepat dapat terjadi di bidang politik, militer, ekonomi, dan sebagainya. Radikalisme pada dasarnya merupakan gerakan pendobrak terhadap kondisi yang mapan, karena didorong oleh keinginan untuk menciptakan suatu kondisi baru yang diinginkan, dengan cara yang cepat.
  1. Fatalisme
Sikap pasrah yang mengarah kepada fatalisme dapat dikategorikan sebagi tingkah laku keagamaan yang menyimpang, sikap seperti ini setidaknya mengabaikan fungsi dan peran akal secara normal. Padahal agama menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi. Dengan akal manusia mampu membangun peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam sendiri dalam ajarannya memposisikan akal tuk mengiringi keimanan dalam menentukan derajat pemeluknya. Secara psikologi , ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi munculnya fatalisme, yaitu:
1.      Pemahaman yang Keliru
Sebagai manusia biasa, para agamawan memiliki latar belakang sosio-kultural, tingkat pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda. Dalam kondisi itu terbuka peluang timbulnya “salah tafsir” dalam memahami pesan-pesan kitab suci maupun risalah rasul sehingga menyebabkan fatalisme.
2.      Otoritas Agamawan
Dalam komunitas agama selalu ada pemimpin agama atau agamawan yang jadi panutuan pemeluk agamanya. Umumnya reputasi ketokohan dari si pemimpin agama itu ditentukan oleh kusntitas pendukungnya, bukan didasarkan kualitas keagamaan. Tanpa disadari tak jarang gejala seperti itu turut berengaruh terhadap ego para pemuka agama, popularitas yang dicapai sering dianggap sebagai sukses diri pribadi ini harus senantiasa dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan.
Dalam kondisi sepert ini terkadang dengan menggunakan otoritasnya yang berlebihan, pemimpin agama terjebak kepada upaya untuk memitoskan ajaran agama. Pemimpin agama ini berusaha menciptakan situasi psikologi pengikutnya melalui otoritas keagamaan yang ia miliki, hingga mempengaruhi terbentuknya sikap penurut. Inilah salah satu faktor terjadinya fatalisme dalam agama.
http://resume-buku-psi-agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar