“RESUME
BUKU PSIKOLOGI PENDIDIKAN”
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas
Mata
Kuliah Psikologi Pendidikan
Dosen
Pengampu :
Drs. Moh. Said, M.Pd.I
Drs. Moh. Said, M.Pd.I
Disusun
Oleh :
Riska Uswatun Hasanah (1511002504)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER V (LIMA) SORE
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MA’ARIF
KOTA JAMBI
2017
BAB
1
PENDAHULUAN
Hubungan
manusia dengan sesuatu yang dianggap supernatural memang memiliki latar
belakang sejarah yang cukup panjang. Para antropolog melihat hubungan manusia
dengan zat yang supernatural itu dari sudut pandang kebudayaan. Hasil temuan mereka
menunjukan bahwa pada masyarakat yang masih memiliki kebudayaan asli (primitif)
dijumpai adanya pola kebudayaan yang mencerminkan bentuk hubungan masyarakat
dengan sesuatu yang mereka anggap adikuasa dan suci. Sedangkan para sosiolog menjumpai adanya semacam norma
yang mengatur kehidupan masyarakat primitif. Norma-norma tersebut dilembagakan
menjadi tata kehidupan bermasyarakat dan dikaitkan dengan nilai-nilai
spiritual.
Di
lain pihak, para agamawan memperkuat hubungan tersebut. Berdasarkan informasi kitab
suci, hubungan manusia dengan zat yang supernatural ini digambarkan sebagai
hubungan antara makhluk ciptaan dengan Sang Pencipta. Dari kenyataan yang ada,
para psikologi mencoba melihat hubungan manusia dengan kepercayaan ikut
dipengaruhi dan juga mempengaruhi faktor kejiwaan. Proses dan sistem hubungan
ini menurut mereka dapat dikaji secara empiris dengan menggunakan pendekatan
psikologi. Perbedaan pendapat antara agamawan dan para psikologi agama sempat
menunda munculnya psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Sehingga, psikologi agama sebagai cabang psikologi baru tumbuh sebagai disiplin
ilmu sekitar penghujung abad ke-19.
Dalam
bukunya si penulis membahas berbagai permasalahan yang dialami psikologi agama
di awal-awal perkembangannya hingga menjadi disiplin ilmu yang otonom.
Selanjutnya untuk kepentingan pendidikan agama, si penulis membahas
perkembangan jiwa agama pada tingkat perkembangan anak-anak dan remaja. Selain
itu akan dibahas berbagai kriteria yang dimiliki orang-orang yang matang
beragama. Pembahasan juga akan meliputi hunungan agama dengan kesehatan mental
serta bagaimana hubungan kepribadian dengan sikap keberagamaan seseorang.
Selanjutnya
dalam bukunya, si penulis mengemukakan pembahasan tentang pengaruh kebudayaan terhadap
jiwa keagamaan. Lebih lanjut akan dikemukakan pengaruh pendidikan terhadap
pembentukan jiwa keagamaan seseorang, pengaruh agama terhadap kehidupan
manusia. Akhirnya dalam pembahasan juga akan dikemukakan berbagai gangguan
dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang hingga terjadi berbagai tingkah
laku keagamaan yang menyimpang.
BAB
2
PSIKOLOGI
AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU
- Psikologi Agama dan Cabang Psikologi
Psikologi
secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang bersangkutan dengan
pikiran (Cognisi), perasaan (emotion) dan kehendak (conasi), gejala tersebut
dapat diamati melalui sikap dan prilaku manusia. Gejala tersebut secara umum
memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan
beradab. Namun seringkali ada diantara pernyataan dalam aktivitas yang tampak
itu merupakan gejala campuran. Ahli psikologi membaginya menjadi empat gejala
jiwa utama yaitu, pikiran, perasaan, kehendak, dan gejala campuran. Adapun yang
termasuk gejala campuran disini seperti intelektual, kelelahan maupun sugesti.
Setelah
lahirnya cabang-cabang psikologi dan kemudian menjadi disiplin ilmu yang otonom
dan terapan (applied science), berkembang sejalan dengan kegunaannya. Dengan
demikian psikologi yang diakui sebagai disiplin ilmu sejak tahun 1879 ini
ternyata telah banyak memperlihatkan sumbangsinya dalam memecahkan berbagai
problema dalam kehidupan manusia serta mengupayakan peningkatan SDM (Djamaludin
Ancok, 1994:1). Berbagai cabang memisahan diri dari induknya kemudian menjadi
disiplin yang otonom.
Seabad
setelah psikologi diakui sebagai disiplin ilmu yang otonom, para ahli melihat
bahwa psikologi memiliki keterkaitan dengan kehidupan batin manusia, yaitu
agama. Kemudian para ahli pun mulai menekuni studi khusus tentang hubungan
antara kesadaran agama dan tingkah laku agama. Kajian-kajian khusus mengenai
agama melalui pendekatan psikologi ini sejak awal-awal abad ke-19 semakin
berkembang, sehingga para ahli pun memalui karyanya membuka lapang baru dalam
kajian psikologi, yaitu psikologi agama. Sebagaimana latar belakang
perkembangan cabang psikologi yang lain, psikologi agama pun mandapat perhatian
khusus dan menjadi disiplin ilmu yang otonom.
- Pengertian Psikologi Agama
Psikologi
agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama, kedua kata ini memiliki
arti yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa, dan beradab (Jalaluddin,
at al, 1979:77). Menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang dipergunakan
secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku
dan pengalaman manusia (Robert H. Thouless, 1992:13).
Menurut
Harun Nasution pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al Din, religi
(relegere, religare) dan agama. Al Din (semit) berarti undang-undang atau
hukum. Kemudian dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti menguasai,
menundukan, patuh, utang, balasan,kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (latin)
atau relege berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti
mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a (tidak) gam (pergi) mengandung arti
tidak pergi, diam ditempat atau diwarisi turun-temurun (Harun Nasution,
1975:9-10).
Robert
H. Thouless berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang
bertujuan mengembangkan terhadap prilaku keagamaan dengan mengaplikasikan
prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap prilaku bukan
keagamaan (Robert H. Thouless:25).
- Ruang Lingkup dan Kegunaannya
Menurut
Zakiah Drajat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian Psikologi Agama
meliputi kajian:
a)
Bermacam-macam
emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama
orang biasa (umum), seperti misalnya, rasa lega dan tentram setelah sembahyang.
b)
Bagaimana
perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya
ras tentram dan kelegaan batin.
c)
Mempelajari,
meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati
(akhirat) pada tiap-tiap orang.
d)
Meneliti dan
mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan
dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh
terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
e)
Meneliti dan
mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci
kelegaan batinnya.
Semuanya
itu menurut Zakiah Drajat tercakup dalam kesadaran agama (religious
counsciousness) dan pengalaman agama (relegious experience).
- Psikologi Agama dan Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam disini diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh meraka yang
memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengarahan serta
pengembangan potensi yang dimiliki. Jadi dalam pengertian ini pendidikan Islam
tidak dibatasi oleh institusi ataupun pada lapangan pendidikan tertentu,
pendidikan Islam diartikan dalam ruang lingkup yang luas, pendidikan Islam erat
kaitannya dengan Psikologi Agama. Bahkan psikologi agama digunakan sebagai
pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan islam.
Pendekatan
psikologi agama dalam pendidikan islam ternyata telah dilakukan di periode awal
perkembangan islam itu sendiri. Fungsi dan peran kedua oran tua sebagai teladan
yang terdekat kepada anak telah diakui dalam pendidikan islam. Bahkan agama dan
keyakinan seseorang anak dinilai sangat tergantung dari keteladanan orang
tuanya. Tak mengherankan jika Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa
keberagaman anak terpola dari tingkah laku bapaknya.
Pembentukan
jiwa keagamaan pada anak diawali sejak ia dilahirkan, bimbingan kejiwaan
diarahkan pada pembentukan nilai-nilai imani. Sedangkan keteladanan, pembiasaan,
dan disiplin dititik beratkan pada pembentukan nilai-nilai amali. Keduanya
memiliki hubungan timbal balik. Dengan demikian, kesadaran agama dan pengalaman
agama dibentuk melalui proses bimbingan terpadu. Hasil yang diharapkan adalah
sosok manusia yang beriman (kesadaran agama), dan beramal shaleh (pengalaman
agama).
BAB
3
PERKEMBANGAN
PSIKOLOGI AGAMA
- Sejarah Perkembangannya
Berdasarkan
sumber Barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian mengenai psikologi
agama mulai populer sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa itu psikologi yang
semakin berkembang dignakan sebagai alat untuk kajian agama. Kajian semacam itu
dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berfikir, dan
mengemukakan perasaan keagamaan (Robert H. Thouless, 1992:1). Sejak saat itu,
kajian-kajian tentang psikologi agama tampaknya tidak hanya terbatas pada
masalah-masalah yang menyangkut kehidupan keagamaan secara umum, melainkan juga
masalah-masalah khusus.
Di
tanah air sendiri tulisan mengenai psikologi agama ini baru di kenal sekitar
tahun 1970-an, yaitu oleh Prof.Dr. Zakiah Daradjat. Ada sejumlah buku yang
belau tulis untuk kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa dilingkungan IAIN.
Diluar itu, kuliah mengenai psikologi agama juga sudah diberikan, oleh Prof.Dr.
A. Mukti Ali dan Prof.Dr.Zakiah Dradjat sendiri. Seperti pernyataan Robert H.
Thouless, bahwa kehirauan terhadap permasalahn yang berrkaitan dengan tingkah
laku keagamaan sebagai permasalahan yang menyangkut kesadaran agama ternyata telah
membuka jalan bagi pemanfaatan psikologi secara luas dalam tugas pemahaman
terhadap permasalahan agama (Robert H. Thouless, 1992:12).
Seperti
dimaklumi, bahwa psikologi agama tergolong cabang psikologi yang berusia muda.
Berdasarkan informasi dari bergbagai literatur, dapat disimpulkan bahwa
kelahiran psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri memiliki
latar belakang sejarah yang cukup panjang. Selain itu, pada tahap-tahap awalnya
psikologi agama didukung oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Sumber-sumber Barat umumnya merujuk awal kelahiran psikologi agama adalah karya
Edwin Diller Starbuck dan William James. Buku The Psychology of Religion: An
Empirical Study of Growth of Religion Counsciousness karya E.D Strabuck
diterbitkan tahun 1899, dinilai sebagai buku yang memang khusus membahas
masalah yang menyangkut psikologi agama. Setahun kemudian (1900), William James
menerbitkan buku The Varieties of Religious Experiencies. Buku yang berisi
pengalaman keagamaan berbagai tokoh ini kemudian dianggap sebagai buku yang
menjadi perintis awal dari kelahiran psikologi agama menjadi disiplin ilmu yang
berdiri sendiri. Psikologi agama diakui sebagai disiplin ilmu, cabang
psikologi, seperti ilmu-ilmu cabang psikologi yang lainnya.
- Beberapa Metode dalam Psikologi Agama
1.
Dokumen Pribadi
(Personal Document)
a)
Teknik Nomotatik
Nomotatik
merupakan pendekatan psikologis yang digunakan untuk memahami tabiat atau
sifat-sifat dasar manusia dengan cara mencoba menetapkan ketentuan umum dari
hubungan antara sikap dan kondisi yang dianggap sebagai penyebab terjadinya
sikap tersebut. Sedangkan sikap yang terlihat sebagai kecenderungan sikap umum
itu di nilai sebagai gabungan sikap yang terbentuk dari sikap-sikap individu
yang ada di dalamnya, Philip G. Ziambardo (dalam Jalaludin). Pendekatan ini
digunakan untuk mempelajari perbedaan-perbedaan inidividu.
b)
Teknik Analisis
Nilai (Value Analysis)
Teknik
ini digunakan dengan dukungan analisis statistik. Data yang terkumpul
diklasifikasikan menurut teknik statistik dan dianalisis untuk dijadikan
penilaian terhadap individu yang diteliti. Teknik statistik digunakan
berdasarkan perimbangan bahwa ada sejumlah pengalaman keagamaan yang dapat
dibaha dengan menggunakan bantuan ilmu eksakta, terutama dalam mencari hubungan
antara sejumlah variabel.
c)
Teknik
Idiography
Teknik
ini juga merupakan pendekatan psikolgis yang digunakan untuk memahami
sifat-sifat dasar (tabiat) manusia. Berbeda dengan nomotatik, maka ideography
lebih dipusatkan pada hubungan antara sifat-sifat dimaksud dengan keadaan
tertentu dan aspek-aspek kepribadian yang menjadi ciri khas masing-masing
individu dalam upaya untuk memahami seseorang.
d)
Teknik Penilaian
terhadap Sikap (Evaluation Attitudes Technique)
Teknik
ini digunakan dalam penelitian terhadap biografi, tulisan, atau dokumen yang
ada hubungannya dengan individu yang akan diteliti. Berdasarkan dokumen
tersebut kemudian ditarik kesimpulan, bagaimana pendirian seseorang terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam kaitan hubungannya dengan pengalaman
dan kesadaran agama.
2.
Kuesioner dan
Wawancara
a.
Pengumpulan
pendapat masyarakat (Public Opinion Polls)
Teknik
ini merupakan gabungan antara kuesioner dan wawancara. Cara mendapatkan data
adalah melalui pengumpulan pendapat khalayak ramai. Data tersebut selanjutnya
dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi yang sudah dibuat berdasarkan
kepentingan penelitian.
b.
Skala penilaian
(Rating Scale)
Teknik
ini digunakan untuk memperoleh data tentang faktor-faktor yang menyebabkan
perbedaan khas dalam diri seseorang berdasarkan pengaruh tempat dan kelompok,
misalnya. Dengan adanya penyebab yang khas ini peneliti dapat memahami latar belakang timbulnya
perbedaan antarpenganut suatu keyakinan agama. Misalnya sikap liberal lebih
banyak dijumpai di kalangan penganut Protestan, dan sikap konservatif lebih
banyak dijumpai di kalangan penganut agama Katolik.
c.
Tes (Test)
Tes
digunakan dalam upaya mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam
kondisi tertentu. Untuk memperoleh gambaran yang diinginkan, biasanya
diperlukan bentuk tes yang sudah disusun secara sistematis.
d.
Eksperimen
Teknik
eksperimen digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan
seseorang melalui perlakuan khusus yang sengaja dibuat.
e.
Observasi
melalui pendekatan sosiologi dan antropologi (Sociological and anthropological
observation)
Penelitian
dilakukan dengan menggunakan data sosiologi dengan mempelajari sifat-sifat
manusiawi orang per orang atau kelompok.
f.
Studi agama
berdasarkan pendekatan antropologi budaya
Cara
ini digunakan dengan membandingkan antara tindak keagamaan (upacara, ritus)
dengan menggunakan pendekatan psikologi. Melalui pengukuran statistik kemudian
dibuat tolok ukur berdasarkan pendekatan psikologi yang dihubungkan dengan
kebudayaan. Misalnya, adanya persaudaraan antara sesama orang yang ber-Tuhan,
masalah ke-Tuhanan dan agama, adanya kebenaran keyakinan yang terlihat dalam
bentuk formalitas, bentuk-bentuk praktek keagamaan, dan sebagainya.
- Psikologi Agama dalam Islam
Secara
terminologis, psikologi agama memang tidak dijumpai dalam kepustakaan Islam
klasik. Karena latar belakang sejarah perkembangannya bersumber dari literatur
barat. Dan di kalangan ilmuan barat yang pertama kali menggunakan sebutan
psikologi agama adalah Edwin Diller Starbuck, melalui karangannya psychology of
religion yang diterbikan tahun 1899.
Meskipun dikalangan ilmuan muslim kajian-kajian dalam psikologi agama
mulai dilakukan secara khusus sekitar abad pertengahan abad ke-20, namun
permasalahan yang ada sangkut pautnya dengan kajian ini sudah ada sejak awal
perkembangan Islam. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai konsep ajaran
islam yang dapat dijadikan acuan dalam studi psikologi agama.
Pendekatan
psikologi Barat bagaimanapun juga belum dapat menggambarkan konsep manusia
secara utuh dan lengkap. Hal ini menunjukan bahwa kelemahan psikologi dalam
menerangkan siapa sesungguhnya manusia dan bagaimana seharusnya manusia menata
dirinya sehingga mencapai kesuksesan dalam kehidupannya. Beranjak dari konsep
Islam tentang manusia, terungkap bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang
memiliki hubungan makhluk-khalik secara fitrah. Untuk menjadikan hubungan
tersebut berjalan normal, maka manusia dianugrahi beberapa potensi yang
dipersiapkan untuk kepentingan pengaturan hubungan tersebut.anugrah tersebut
diantaranya: berupa dorongan naluri, perangkat inderawi, kemampuan akal, dan
fitrah agama yang jika dikembangkan melalui bimbingan yang baik akan mampu
mengantar manusia mencapai sukses dalam kehidupannya sebagai makhluk yang taat
mengabdi kepada penciptanya.
BAB
4
PERKEMBANGAN
JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK DAN REMAJA
A.
Teori Tentang
Sumber Kejiwaan Agama
1.
Teori Monistik
a)
Thomas Van
Aquino
Mengemukakan
bahwa yang menjdi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir. Manusia ber-Tuhan
karena manusia menggunakan kemampuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan
kegiatan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri.
2.
Fredrick Hegel
Filosofis
Jerman ini berpendapat, agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh
benar dan tempat kebenaran abadi. Berdasarkan hal itu, agama semata-mata
merupakan hal-hal atau persoalan yang berhubungan dengan pikiran.
3.
Rudolf Otto
Sumber
kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other (yang sama
sekali lain). Perasaan semacam itulah yang menurut pendapatnya sebagai sumber
dari kejiwaan agama pada manusia.
4.
Fredrick
Schleimacher
Yang
menjadi sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of
depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan
dirinya lemah, sehingga manusia akan selalu bergantung kepada suatu kekuasan
yang ada di luar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan itulah maka timbul
konsep tentang Tuhan.
5.
Sigmund Frued
Unsur
kejiwaan yang menjadi sumber kajiwaan agama ialah libido sexuil (naluri
seksual), berdasarkan libido ini timbullah ide tentang ke-Tuhanan dan upacara
keagamaan setelah melalui proses:
1.
Oedipoes
Complex, yakni mitos Yunani kuno yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta
kepada ibunya, maka oedipoes membunuh ayahnya. Kejadian itu berawal dari
manusia primitif, mereka bersekongkol untuk membunuh ayah yang berasal dalam
masyarakat promiscuitas. Stelah ayah mereka mati, maka timbul rasa bersalah
(sense of guilt) pada diri anak-anak itu.
2.
Father Image
(Citra Bapak), setelah mereka membunuh ayah mereka dan dihantui oleh rasa
bersalah itu, maka timbullah rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide
untuk memuja arwah ayah mereka , karena khawatir akan pembalasan arwah
tersebut. Realisasi dari pemujaan tersebut sebagai asal dari upacara keagamaan.
Jadi, menurut Freud agama muncul dari ilusi (khayalan) manusia.
6.
William Mac
Dougall
Sumber kejiwaan agama merupakan kumpulan
dari beberapa instink. Menurut Mac Dougall, pada diri manusia terdapat 14 macam
instink, maka agama timbul dari instink secara terintegrasi.
B.
Timbulnya Jiwa
Keagamaan pada Anak
1.
Rasa
Ketergantungan (Sense of Depend)
Teori
ini dilemukakan oleh Thomas melalui teori four wishes. Menurutnya manusia
dilahirkan kedunia mempunyai empat keinginan yaitu: keinginan untuk
perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (experience), keinginan
untuk mendapat tanggapan (response), keinginan untuk dikenal (recognation).
2.
Instink
Keagamaan
Menurut
Woodwoorth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting diantaranya
insting keagamaan.
C.
Perkembangan
Agama pada Anak
1. The
Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada
tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak
dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih
menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng- dongeng yang kurang
masuk akal.
2. The
Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada
tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan
sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah
pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika. Pada tahap ini teradapat
satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang
sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi
pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila
melanggarnya.
3. The
Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada
tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan
perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi
menjadi tiga golongan:
1)
Konsep ketuhanan
yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
2)
Konsep ketuhanan
yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal
(perorangan).
3)
Konsep ketuhanan
yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri
mereka dalam menghayati ajaran agama.
- Sifat-sifat Agama pada Anak-anak
a.
Unreflective
(kurang mendalam/ tanpa kritik)
Kebenaran
yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka
merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut
penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan
dengan perkembangan moral.
b.
Egosentris
Sifat
egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak
berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai
arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan
dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi.
Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan
ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan
egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c.
Anthromorphis
Konsep
anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia
berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan
(mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan
religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif
dan konkret.
d.
Verbalis dan
Ritualis
Kehidupan
agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka
menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang
mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan
pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung
gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e.
Imitatif
Tindak
keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam
hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada
dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
f.
Rasa heran
Rasa
heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan
rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif.
Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi
pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan
pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang
sangat penting.
- Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Remaja
a.
Pertumbuhan
Pikiran dan Mental
b.
Perkembangan
Perasaan
c.
Pertimbangan
Sosial
d.
Perkembangan
Moral:
1)
Self-directive,
taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2)
Adaptive,
mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3)
Submissive,
perasaan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama
4)
Unadjusted,
belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5)
Deviant, menolak
dasar dan hukum keagamaan secara tatanan moral masyarakat
6)
Sikap dan Minat
7)
Ibadah
- Konflik dan Keraguan
1)
Kepercayaan,
menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya terutama (dalam agama Kristen)
status ke-Tuhanan sebagai Trinitas.
2)
Tempat Suci,
menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat suci agama.
3)
Alat
perlengkapan keagamaan, seperti fungsi salib dan rosario dalam kristen.
4)
Fungsi dan tugas
staf dalam lembaga keagamaan.
5)
Pemuka agama,
Biarawan dan Biarawati.
6)
Peradaban aliran
dalam keagamaan, sekte (dalam agama Kristen), atau madzhab (Islam).
Konflik
ada beberapa macam diantaranya:
1)
Konflik yang
terjadi antara percaya dan ragu.
2)
Konflik antara
pemilihan satu diantara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga
keagamaan.
3)
Konflik yang
terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekularisme.
4)
Konflik yang
terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang
didasarkan atas petunjuk Ilahi.
BAB
5
PERKEMBANGAN
JIWA KEAGAMAAN PADA ORANG DEWASA DAN USIA LANJUT
A.
Macam-macam
Kebutuhan
1.
Kebutuhan
Individual, terdiri dari:
a.
Homeostatis,
yaitu kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyesuaian diri dengan
lingkungan.
b.
Regulasi
temperatur, adalah penyesuaian tubuh dalam usaha mengatasi kebutuhan akan
perubahan temperatur badan.
c.
Tidur merupakan
kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar dari gejala halusinasi.
d.
Lapar adalah
kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh sebagai
organis. Lapar akan menyebabkan gangguan pada fisik maupun mental.
e.
Seks merupakan
salah satu kebutuhan yang timbul dari golongan mempertahankan jenis. Sigmund
Freud menganggap kebutuhan ini sebagai kebutuhan vital pada manusia.
f.
Melarikan diri
yaitu kebutuhan manusia akan perlindungan, keselamatan jasmani dan rohani.
Usaha menghindarkan diri dari bahaya merupakan reaksi yang wajar sebagai usaha
proteksi.
g.
Pencegahan,
yaitu kebutuhan manusia untuk mencegah terjadinya reaksi melarikan diri. Dengan
cara menekan, menantang atau menyalurkannya.
h.
Ingin tahu
(curiosity), yaitu kebutuhan rohani manusia untuk ingin selalu mengetahui latar
belakang kehidupannya. Kebutuhan ini mendorong manusia untuk mengembangkan
dirinya.
i.
Humor, yaitu
kebutuhan manusia untuk mengendorkan beban kejiwaan yang dialaminya dalam
bentuk verbal atau perbuatan.
2.
Kebutuhan Sosial
a.
Pujian dan
Hinaan, menurut Guilford, kedua unsur ini merupakan faktor yang menentukan
dalam pembentukan sistem moral manusia.
b.
Kekuasaan dan
Mengalah, Alfred Adler mengatakan, bahwa secara naluriah manusia itu ingin
berkuasa dan Nietrzche menyebutkan sebagai motif primer dalam kehidupan
manusia. Sedangkan Guilford berpendapat bahwa kebutuhan kekuasaan dan mengalah
ini tercermin dari adanya perjuangan manusia yang tak ada henti-hentinya dalam
kehidupan.
c.
Pergaulan,
kebutuhan yang mendorong manusia untuk hidup dan bergaul sebagai homo-socius
(makhluk bermasyarakat) dan zon-politicon (makhluk yang berorganisasi).
d.
Imitasi dan
Simpati, kebutuhan manusia dalam pergaulannya yang tercermin dalam bentuk
meniru dan mengadakan respon-emosionil.
e.
Perhatian,
kebutuhan akan perhatian merupakan salah satu kebutuhan sosial yang terdapat
pada setiap individu. Besar kescilnya perhatian masyarakat terhadap seseorang
akan mempengaruhi sikapnya.
B.
Sikap
Keberagamaan pada Orang Dewasa
Dengan
tingkat perkembangan usianya maka sikap keberagamaan orang dewasa antara lain
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Menerima
kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar
ikut-ikutan.
2.
Cendrung
bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam
sikap dan tingkah laku.
3.
Bersikap positif
terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan
memperdalam pemahaman keagamaan.
4.
Tingkat ketaatan
beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hinga sikap
keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.
Bersikap lebih
terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.
Bersikap lebih
kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain
didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati
nurani.
7.
Sikap
keberagamaan cendrung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing,
sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami dan
melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.
Terlihat adanya
hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian
terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
C.
Manusia Usia
Lanjut dan Agama
M.
Argyle mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Cavan yang mempelajari
1.200 orang sampel berusia antara 60-100 tahun. Temuan menunjukan secara jelas
kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada
umur-umur ini. Sedangkan, pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat
baru muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun (Robert H. Thouless, 1992: 108).
Para ahli psikologi menghubungkan kecendrungan peningkatan keagamaan dengan
penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini karena usia lanjut mengalami
frustasi seksual dan penurunan kemampuan fisik sehingga membentuk sikap
keagamaan. Robert H. Thouless berpendapat bahwa meskipun kegiatan seksual
secara biologis tidak produktif lagi tapi kebutuhan untuk dicintai dan
mencintai masih ada (Robert H. Thouless, 1992: 108).
Mengenai
kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini William James menyatakan bahwa umur
keagamaan yang sangat luar biasa tamoaknya justru terdapat pada usia, ketika
gejolak kehidupan seksual sudah berakhir (Robert H. Thouless, 1992: 107).
Secara garis beasar ciri-ciri keberagamaan pad usia lanjut adalah:
1.
Kehidupan
keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.
Meningkatnya
kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.
Mulai muncul
pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih
sungguh-sungguh.
4.
Sikap keagamaan
cendrung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta
sifat-sifat luhur.
5.
Timbul rasa
takut pada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6.
Perasaan takut
pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan
kepercayaan terhadap adamya kehidupan abadi (akhirat).
D.
Perlakuan
Terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Dilingkungan
peradaban Barat, upaya untuk memberikan perlakuan manusiawi pada para manusia
usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka di panti jompo. Di panti ini
para manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang intensif. Tindakan ini
diambil karena rasa kekhawatiran akan ketidak harmonisan dalam keluarga yang
terdapat manusia usia lanjut yang memiliki sikap dan tingkah laku yang berbeda
dengan mereka yang masih muda, anak atau cucu mereka. Meskipun mereka
meninginkan orang tuanya terawat dengan baik.
Lain
halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh Islam. Perlakuan terhadap manusia
usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang
tua yang berusia lamjut dibebankan kepada anak-anak mereka, bukan kepada badan
atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Allah menyebutkan pemeliharaan secara
khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak
meraka dengan memperlakukan orang tua mereka layaknya seorang bayi yang
memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih
sayang. Penjelasan ini menunjukan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut
merupakan kewajiban agama menurut Islam. Maka sangat tercela dan durhaka jika
seorang anaka menelantarkan orang tua mereka di panti jompo.
BAB
6
KRITERIA
ORANG YANG MATANG BERAGAMA
A.
Ciri-ciri dan
Sikap Keberagamaan
1.
Tipe Orang yang
Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Adapun
ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya
cendrung menampilkan sikap:
a.
Pesimis, dalam
mengamalkan ajaran agama mereka cendrung untuk berpasrah diri kepada nasib yang
telah mereka terima. Mereka menjadi tahan menderita dan segala penderitaan
menyebabkan peningkatan ketaatannya.
b.
Introvert, sifat
pesimis membuat mereka untik bersikap objektif. Segala bahaya dan penderitaan
selalu dihubungkan dengan dosa yang telah diperbuatnya, dengan demikian mereka
menebusnya dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan dengan pensucian diri.
c.
Menyenangi faham
yang ortodoks, sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya
menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan
yang lebih konservatif dan ortodoks.
d.
Mengalami proses
keagamaan secara non-graduasi, timbulnya keyakinan beragama pada mereka ini
berlangsung melalui proses pendadakan dan perubahan yang tiba-tiba, tidak
secara bertahap atau melalui prosedur yang biasa.
2.
Tipe Orang yang
Sehat Jiwa (Healthy- Minded-Ness)
a. Optimis
dan gembira
b. Ekstrovet
dan mendalam, karena sikap optimis dan terbuka menyebabkan mereka mudah
melupakan kesan-kesan buruk yang tergores sebagai ekses relijiusitas
tindakannya.
c. Menyenangi
ajaran ketauhidan yang liberal:
1)
Menyenangi teologi
yang luwes dan tidak kaku.
2)
Menunjukan
tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
3)
Menekankan
ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
4)
Mempelopori
pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
5)
Tidak menyenangi
implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
6)
Bersifat liberal
dalam menafsirkan pengertian ajaran agama.
7)
Selalu
berpandangan positif.
8)
Berkembang
secara graduasi.
B.
Mistisisme dan
Psikologi Agama
Mistisisme
merupakan salah satu sisi dan pokok bahasan dalam psikologi agama. Mistisisme
dijumpai dalam semua agama, baik agama teistik (Islam, Kristen dan Yahudi)
maupun di kalangan mistik non-teistik (Budha, Hindu). Ciri khas mistisisme yang
pertama kali menarik para ahli psikologi agama adalah kenyataan bahwa
pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang menjadi
puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan. Kondisi ini
digambarkan oleh mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman
menyatu dengan Tuhan.
Mistisisme
dalam kajian psikologi agama dilihat dari hubungan sikap dan prilaku agama
dengan gejala kejiwaan yang melatar belakanginya, bukan dilihat dari absah
tidaknya mistisisme itu berdasarkan pandangan agama masing-masing. Dengan
demikian, mistisisme menurut pandangan psikologi agama, hanya terbatas pada
upaya untuk mempelajari gejala-gejala kejiwaan tertentu yangterdapat pada
tokoh-tokoh tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut. Mistisime
merupakan gejala umum yang terlihat dalam kehidupan tokoh-tokoh mistik, baik
yang teistik maupun non-teistik.
BAB
7
AGAMA
DAN KESEHATAN MENTAL
A.
Manusia dan
Agama
Secara
psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari pada agama karena rasa
ketidak berdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian segala bentuk prilaku keagamaan
merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari
bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan
Tuhan dalam pikirannya (Djamaluddin Ancok, 1994:71).
Agama
nampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran
manusia terhadap agama nampaknya di karenakan faktor-faktor tertentu baik yang
disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun, untuk
menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya
sulit dilakukan. Manusia ternyata memiliki unsur batin yang cendrung
mendorongnya untuk tunduk kepada zat yang gaib. Ketundukan ini merupakan bagian
dari faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi
(self) ataupun hati nurani (conscience of man).
B.
Agama dan
Pengaruhnya terhadap Kesehatan Mental
Kesehatan
mental adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip,
peraturan-peraturan secara prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan
ruhani (M. Buchori, 1982:13). Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam
ruhani atau hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tentram ((M. Buchori,
1982:5). Dr. Breuer dan S. Freud memperkenalkan pengobatan dengan hipotheria
yaitu pengobatan dengan cara hipnotis. Dan kemudian dikenal pula adanya istilah
psikoterapi atau autoherapia (penyembuhan diri sendiri) yang dilakukan tanpa
menggunakan bantuan obat-obatan biasa.
Sesuai
dengan istilahnya, maka psikoterapi dan autoherapia digunakan untuk
menyembuhkan pasien yang menderita penyakit gangguan ruhani (jiwa). Sejumlah
kasus yang menunjukan adanya hubungan antara faktor keyakinan dengan kesehatan
jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu.
C.
Terapi Keagamaan
Orang
yang tidak merasa tenang, aman serta tentram dalam hatinya adalah orang yang
sakit ruhani atau mentalnya, menurut H. Carl Witherington (M. Buchori, 1982:
5). Para ahli psikiatri mengakui bahwa setiap manusia mempunyai
kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu yang diperlukan untuk melangsungkan proses
kehidupan secara lancar.
Di
dalam Al Qur’an sebagai dasar dan sumber ajaran Islam banyak ditemui ayat-ayat
yang berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan jiwa sebagai hal yang
prinsipil dalam kesehatan mental ayat-ayat tersebut:
1.
Ayat tentang
Kebahagiaan
a. QS.
Al Qashash: 77. Dalam ayat ini Allah memerintahkan orang Islam untuk merebut
kebahagiaan akhirat dan kenikmatan dunia dengan jalan berbuat baik dan menjauhi
perbuatan mungkar.
b. QS.
An Nahl: 97. Dijelaskan dalam ayat ini, bahwa Allah menjanjikan kehidupan yang
baik kepada orang yang berbuat amal shaleh yang beriman.
c. QS.
Ali ‘Imran: 104. Pada ayat inipun dikatakan, bahwa Allah menjanjikan kepada
orang yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang mungkar.
2.
Ayat tentang
Ketenangan Jiwa
a.
QS. Al Ra’d: 28.
Dalam ayat tersebut Allah dengan jelas menegaskan bahwa, ketenangan jiwa dapat
dicapai dengan dzikir (mengingat) Allah.
b.
QS. Al ‘Araf:
35. Pada ayat ini dikatakan bahwa, rasa takwa dan perbuatan baik adalah metode
pencegahan dari rasa takut dan sedih.
c.
QS. Al Baqarah:
15. Ditegaskan pula dalam ayat ini bagaimana cara seseorang mengatasi kesukaran
dan problema kehidupan sehari-hari, yaitu dengan kesabaran dan shalat.
d.
QS. Al Fath: 4.
Pada ayat ini Allah menyifati diri-Nya bahwa Dia-lah Tuhan yang Maha mengetahui
dan bijaksana yang dapat memberikan ketenangan jiwa ke dalam hati orang yang
beriman.
D.
Musibah
Musibah
merupakan pengalaman yang dirasakan tidak menyenangkan karena dianggap
merugikan oleh korban yang terkena musibah. Berdasarkan asal katanya, musibah
berarti lemparan (arramyah) yang kemudian digunakan dalam makna bahaya, celaka
atau berencana dan bala. Menurut Al Qurtubi, musibah adalah apa saja yang
menyakiti dan menimpa diri seseorang, atau sesuatu yang berbahay dan
menyusahkan manusia, betapapun kecilnya (Ensiklopedi Al Qur’an, 1997:283).
Dari
pendekatan agama, musibah dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, musibah yang
terjadi sebagai akibat dari ulah tangan manusia. Karena kesalahan yang
dilakukannya manusia harus menanggung akibatnya. Kedua, musibah sebagai ujian
dari Tuhan. Musibah ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbuatan
keliru manusia. Oleh karena itu, musibah ini sering dihubung-hubungkan dengan
takdir (ketentuan Tuhan).
E.
Kematian
Kematian
adalah sebuah keniscayaan. Kematian membawa manusia ke alam kehidupan yang baru
yang sama sekali asing. Namun, manakala masih berada dalam kenikmatan hidup,
manusia sering lengah dan lupa dengan kematian.
1.
Kematian dalam
Agama
Setiap
agama mengajarkan tentang adanya hari kebangkitan. Alam baru dalam kehidupan
“lain” yang akan di alami oleh manusia mati. Dipercaya bahwa pada saat itu
manusia akan dihidupkan kembali guna diminta pertanggung jawabannya.
2.
Psikologi
Kematian
Secara
psikologis, manusia usia lanjut terbebankan oleh rasa ketidak berdayaan.
Kelemahan fisik, keterbatasan gerak, dan menurunnya fungsi alat indera,
menyebabkan manusia usia lanjut merasa terisolasi. Saat itu, penghayatan
terhadap segala sesuatu yang terkait dengan nilai-nilai spiritual mulai jadi
perhatian. Kegelisahan dan kekosongan batin seakan terobati oleh keakraban
dengan aspek-aspek ruhaniah.
Kekosongan
batin akan kian terasa ketika dihadapkan pada peristiwa kematian. Terutama bila
dihadapkan pada kematian orang-orang terdekat atau dicintai. Muncul semacam
rasa kehilangan yang terkadang begitu berat dan sulit diatasi.
BAB
8
KEPRIBADIAN
DAN SIKAP KEAGAMAAN
A.
Pengertian dan
Teori Kepribadian
Individuality
adalah sifat khas seseorang yang menyebabkan seseorang mempunyai sifat berbedada
dari orang lain. Wetherington mendefinisikan kepribadian itu adalah istilah
untuk menyebutkan tingkah laku seseorang secara terintegrasikan dan bukan hanya
beberapa aspek saja dari keseluruhan itu. Menurut William Stern, kepribadian
adalah suatu kesatuan banyak (multi complex) yang diarahkan kepada
tujuan-tujuan tertentu dan mengandung sifat-sifat khusus individu, yang bebas
menentukan dirinya sendiri. Sedangkan menurut Prof. Kohnstamm, orang yang
berkepribadian adalah orang yang berkeyakinan ke-Tuhanan.
B.
Tipe-tipe
Kepribadian
a.
Tipe pemikiran
terbuka, dengan sifat-sifatnya: yang cendrung berbuat secara praktis dan
memanfaatkannya dalam kehidupan.
b.
Tipe pemikiran
tertutup, dengan sifat-sifatnya: cendrung menekuni pemikiran yang bersifat
abstrak sehingga kurang memanfaatkan implementasi pemikiran dalam bentuk
perbuatan nyata.
c.
Tipe perasaan
terbuka, dengan sifat-sifatnya: yang cendrung untuk ikut merasakan perasaan
orang lain.
d.
Perasaan
tertutup, dengan sifat-sifatnya: kehidupan mentalnya dikuasai oleh perasaan
yang mendalam, sehingga mereka senang menyendiri, mencintai dan membenci
sesuatu secara bersangkutan karena selalu dikuasai oleh perasaan yang tajam.
e.
Tipe
penginderaan terbuka, dengan sifat-sifatnya: memiliki kehidupan pikiran dan
perasaan yang dangkal. Kehidupan mentalnya dipengaruhi perangsangan lingkungan
yang diterimanya dan mudah bosan terhadap sesuatu, jiwa labil dan kurang
mantap.
f.
Tipe
penginderaan tertutup, dengan sifat-sifatnya: cendrung untuk menenggelamkan
diri oleh pengaruh perangsang luar sebagai
hasil penginderaan.
g.
Tipe intuisi
terbuka, dengan sifat-sifatnya: cendrung untuk bersifat avont turir karena
mereka selalu akan melaksanakan secara langsung setiap apa yang terlintas dalam
pikirannya. Mereka selalu yakin terhadap kebenaran lintasan pikiran itu.
h.
Tipe intuisi
tertutup, dengan sifat-sifatnya: cendrung untuk membuat keputusan yang cepat
dan tajam tanpa didasarkan atas bukti yang objektif.
C. Hubungan
Kepribadian dan Sikap Keagamaan
1.
Sigmund Freud
Sigmund
Freud merumuskan sistem kepribadian menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Id (Das Es).
Sebagai suatu sistem id mempunyai fungsi menunaikan prinsip kehidupan asli
manusia berupa penyaluran dorongan naluriah.
b.
Ego (Das Es).
Merupakan sistem yang berfungsi menyalurkan dorongan id ke dalam keadaan yang
nyata.
c.
Super Ego (Das
Uber Ich). Sebagai suatu sistem yang memiliki unsur moral dan keadilan, maka
sebagian besar super ego mewakili alam ideal.
2.
H.J Eysenck
a.
Specific
response, yaitu tindakan atau respon yang terjadi pada suatu keadaan atau
kejadian tertentu, jadi khusus sekali.
b.
Habitual
response, yaitu respon yang berulang-ulang terjadi saat individu menghadapi
kondisi atau situasi yang sama.
c.
Trait, yaitu
terjadi saat habitual respon yang saling berhubungan satu sama lain, dan
cendrung ada pada individu tertentu.
d.
Type, yaitu
organisasi di dalam individu yang lebih umum dan mencakup.
3.
Sukanto M.M
a.
Qalb
(angan-angan kehatian).
b.
Fuad
(perasaan/hati nurani/ulu hati).
c.
Ego (aku sebagai
pelaksana dari kepribadian).
d.
Tingkah laku
(wujud dari gerakan)/
D.
Dinamika
Kepribadian
Unsur-unsur
dinamika kepribadian seseorang, yaitu:
1. Energi
ruhaniah, yang berfungsi sebagai pengatur aktivitas ruhaniah. Seperti berpikir,
mengingat, mengamati, dan sebagainya.
2. Naluri,
yangberfungsi sebagai pengatur kebutuhan primer. Seperti makan, minum, dan
seks.
3. Ego,
yang berfungsi untuk meredakan ketegangan dalam diri dengan cara melakukan
aktivitas penyesuaian doronga-dorongan yang ada dengan kenyataan objektif
(realitas).
4. Super
ego, yang berfungsi sebagai pemberi ganjaran batin baik berupa penghargaan (rasa
puas, senang, berhasil) maupun berupa hukuman (rasa bersalah, berdosa,
menyesal).
BAB
9
PENGARUH
KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
A.
Tradisi
Keagamaan dan Kebudayaan
Tradisi
menurut Parsudi Suparlan, Ph.D merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar
dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah (Parsudi Suparlan, 1987: 115).
Meredith Mc Guire melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat
kaitannya dengan mitos dan agama (Mc Guire, 1984: 338). Menurut Parsudi
Suparlan, para sosiolog mengidentifikasikan adanya pranata primer. Menurut
Rodaslav A. Tsanoff, pranata keagamaan ini mengandung unsur-unsur yang
berkaitan dengan ke-Tuhanan atau keyakinan, keagamaan, perasaan yang bersifat
mistik (Mc Guire, 1984: 4). Dengan demikian, tradisi keagamaan sulit berubah
karena selain didukung oleh masyarakat juga memuat sejumlah unsur-unsur yang
memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat.
Tradisi
keagamaan (bagi agama samawi) bersumber dari norma-norma yang termuat dalam
kitab suci. Bila kebudayaan sebagai cetak biru bagi kehidupan (Kluckhohn) atau
sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat (Parsudi Suparlan). Dengan demikian,
hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan
timbal balik. Makin kuat tradisi keagamaan, makin terlihat peran akan makin
dominan pengaruhnya dalam kebudayaan. Sebaliknya, makin sekuler suatu
masyarakat maka pengaruh tradisi keagamaan dalam kehidupan masyarakat akan kian
memudar.
B.
Tradisi
Keagamaan dan Sikap Keagamaan
Tradisi
keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi, sikap keagamaan mendukung
terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan
kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan
pada seseorang. Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan
bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang
dianutnya. Sekap keagamaan ini kan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa,
ataupun penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan
agama.
Tradisi
keagamaan dalam pandangan Robert C. Monk memiliki dua fungsi utama yang
mempunyai peran ganda, yaitu bagi masyarakat maupun individu. Fungsi yang
pertama, sebagai kekuatan yang mampu membuat kestabilan dan keterpaduan
masyarakat maupun individu. Sedangkan fungsi yang kedua, tradisi keagamaan
berfungsi sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau dari individu, bahkan
dalam situasi terjadinya konflik sekalipun (Robert C. Monk, 1979: 262). Dalam
konteks pendidikan, tradisi keagamaan merupakan isi pendidikan yang bakal
diwariskan generasi tua ke generasi muda.
BAB
10
PROBLEMA
DAN JIWA KEAGAMAAN
A.
Sikap Keagamaan
dan Pola Tingkah Laku
Menurut
Prof. Dr. Mar’at, meskipun belum lengkap Allport telah menghimpun sebanyak 13 pengertian
megenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 11 rumusan
mengenai sikap, yaitu:
a.
Sikap merupakan
hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus
menerus dengan lingkungan (attituides are learned).
b.
Sikap selalu
dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide
(attituade have referent).
c.
Sikap diperoleh
dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di rumah, sekolah, tempat ibadah
ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan (attituides are
social learnings).
d.
Sikap sebagai
wujud dari kesepian untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap objek
(atituides have readiness to respond).
e.
Bagian yang
dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif, seperti yang tampak dalam
menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu (attituides are
affective).
f.
Sikap memiliki
tingkat intensitas terhadap objek tertentu yakni kuat atau lemah (attituides
are very intensive).
g.
Sikap bergantung
pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasidan saat tertentu mungkin sesuai,
sedangkan disaat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok (attituides have a
time dimension).
h.
Sikap dapat
bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu (attituides have
duration factor).
i.
Sikap merupakan
bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu (attituides are complex).
j.
Sikap merupakan
penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi
seseorang atau yang bersangkutan (attituides are evaluation).
k.
Sikap merupakan
penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna atau
bahkan tidak memadai (attituides are inferred).
B.
Sikap Keagamaan
yang Menyimpang
Sikap
keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan
keyakinan agama yang dianutnya mengalami perubahan. Perubahan sikap seperti itu
bisa terjadi pada orang per-orang (dalam diri individu) atau pada kelompok atau
masyarakat. Sedangkan perubahan sikap itu memiliki tingkat kualitas dan
intensitas yang mngkin berbeda dan bergerak secara continue dari positif
melalui arel netral ke arah negatif 9Mar’at, 1982:17). Dengan demikian, sikap
keagamaan yang menyimpang sehubungan dengan perubahan sikap tidak selalu
berkonotasi buruk.
C.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang Menyimpang
1)
Faktor Intern
a.
Kepribadian,
secara psikologi tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi jiwa seseorang.
b.
Faktor bawaan,
ada semacam kecendrungan urutan kelahiran mempengaruhi penyimpangan agama.
2) Faktor
Ekstern
a.
Faktor Keluarga.
Keretakan
keluarga, ketidak serasian, berlainan agama, kesepian, kurang mendapat
pengakuan kerabat dan lainnya.
b.
Lingkungan
tempat tinggal
c.
Perubahan
Status, misalnya: perceraian.
d.
Kemiskinan
BAB
11
PENGARUH
PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
A.
Pendidikan
Keluarga
Bayi
yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh
berbagai kemampuan yang bersifat bawaan (W.H. Clark, 1964:2). Keluarga menurut
para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah
kedua orang tua sebagai pendidik kodrati.
Pendidikan
keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan.
Perkembangan agama menurut W.H. Clark berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan
sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut
kejiwaan, manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui
fungsi-fungsi jiwa yang masih sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat
di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama
itu berkembang (W.H. Clark, 1964:4). Dalam kaitan itu pula terlihat peran
pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak.
B.
Pendidikan
Kelembagaan
Fungsi
dan peran sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari
pendidikan keluarga. Karena keterbatasan orang tua untuk mendidik anak-anak
mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah.
Pendidikan
agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan
jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut
sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk
memahami nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan
pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititik beratkan pada
bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
C.
Pendidikan di
Masyarakat
Masyarakat
merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat
bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah
keluarga, kelembagaan pendidikan danlingkungan masyarakat. Keserasian antara
ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi
perkembangan anak, termasuk dalam pembentuka jiwa keagamaan mereka.
D.
Agama dan
Masalah Sosial
Tumbuh
dan berkembangnya kesadaran agama (religious consciouness) dan pengalaman agama
(religious experience), ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus.
Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuh kembangkannya, khususnya
pendidikan. Adapun pendidikan yang paling berpengaruh yakni pendidikan dalam
keluarga. Apabila di lingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan
agama biasanya sulit untuk memperoleh kesadarn dan pengalaman agama yang
memadai.
BAB
12
GANGGUAN
DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
A.
Faktor Intern
1.
Faktor Hereditas
2.
Tingkat Usia
3.
Kepribadian
4.
Kondisi Kejiwaan
B.
Faktor Ekstern
1.
Lingkungan
Keluarga
2.
Lingkungan
Institusional
3.
Lingkungan
Masyarakat
C.
Fanatisme dan
Ketaatan
Suatu
tradisi keagamaan membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga yang
lain (sosialisasi). Selain itu juga terkjadi hubungan dengan benda-benda yang
mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi
keagamaan dan sejenisnya.
David
Riesman melihat ada tiga model konfirmitas karakter yaitu: 1. Arahan tradisi
(tradition directed) 2. Arahan dalam (inner directed) 3. Arahan orang lain
(other directed). Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agama agaknya tak
dapat dilepaskan dari peran aspek emosional. Jika kecendrungan taklid keagamaan
tersebut dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka peluang bagi
pembenaran spesifik. Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat
fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama.
BAB
13
AGAMA
DAN PENGARUHNYA DALAM KEHIDUPAN
- Agama dalam Kehidupan Individu
Agama
dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat
norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan
dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang
dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan
individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.
Menurut
Mc Guire, sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi individu dan
masyarakat perangkat sistem nilai dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam
mengatur sikap individu dan masyarakat (Mc Guire:26). Pengaruh sistem nilai
terhadap kehidupan individu karena nilai sebagai realitas yang abstrak
dirasakan sebagai daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam
realitasnya nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola
berfikir dan pola bersikap (E. M Kaswadi, 1993:20).
- Fungsi Agama dalam Kehidupan Masyarakat
Dalam prakteknya fungsi
agama dalam masyarakat antara lain:
1. Berfungsi
Edukati
2. Berfungsi
Penyelamat
a. Theopahania
spontanea: kepercayaan bahwa Tuhan dapat dihadirkan dalam benda-benda tertentu:
tempat angker, gunung, arca dan lainnya.
b. Theophania
innocativa: kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam lambang karena dimohon, baik
melalui invocativa magis (mantera, dukun) maupun invocativa religius
(permohonan, doa, kebaktian dan sebagainya).
3. Berfungsi
sebagai Pendamaian
4. Berfungsi
sebagai Social Control
a. Agama
secara instansi, merupakan norma bagi penganutnya.
b. Agama
secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis (wahyu,
kenabian).
5. Berfungsi
sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas
6. Berfungsi
Transformatif
7. Berfungsi
Kreatif
8. Berfungsi
Sublimatif
- Agama dan Pembangunan
Prof.
Dr. Mukti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah:
1. Sebagai
ethos pembangunan. Maksudnya adalah bahwa agama yang menjadi anutan seseorang
atau masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu memberikan
suatu tatanan nilai moral dan sikap.
2. Sebagai
motivasi. Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong
seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik.
Sumbangan
harta benda dan milik untuk kepentingan masyarakat yang berlandaskan ganjaran
keagamaan telah banyak dinikmati dalam pembangunan, misalnya:
a. Hibbah
dan wakaf tanah untuk pembangunan jalan, sarana ibadah ataupun lembaga
pendidikan.
b. Dana
yang terpakai untuk pembangunan lembaga pendidikan dan rumah-rumah ibadah,
rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya.
c. Pengerahan
tenaga yang terkoordinasi oleh pemuka agama dalam membina kegotongroyongan.
BAB
14
TINGKAH
LAKU KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG
- Aliran Klenik
Klenik
diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan
hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal (KBRI, 1989:04). Aliran
klenik sebagai bagian dari bentuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang akan
senantias muncul dalam setiap masyarakat, apapun latar belakang kepercayaannya.
Prilaku keagamaan yang menyimpang ini umumnya menyebabkan orang menutup diri
dari pergaulan dengan dunia luar. Dengan demikian, mereka membentuk kelompok
yang eksklusif, dalam kondisi yang seperti itu mereka sulit untuk didekati.
Aliran-aliran
klenik ini kemudian dapat pula berkembang menjadi aliran kepercayaan dan aliran
kebatinan. Dan menurut Prof. Dr. Hamka, aliran ini timbul oleh kekacauan
pikiran lantaran kacaunya ekonomi, sosial, dan politik, hingga mendorong
masyarakat untuk melepaskan pikirannya dari pengaruh kenyataan, lalu masuk ke
dalam daerah khayalan tasawuf. Kadang-kadang mereka merasa menganut agama yang
berdiri sendiri, bukan Islam, bukan Budha, bukan Kristen (Hamka, 1976:133-234).
- Konversi Agama
1)
Pengertian
Konversi Agama
a.
Secara etimologi
berasala dari kata “conversio” yang berarti: tobat, pindah, dan berubah (agama).
Dalam bahasa Inggris “conversion” yang berarti: berubah dari suatu keadaan atau
dari suatu agama ke agama lain.
b.
Secara
terminologi, menurut Max Heirich adalah suatu tindakan dimana seseorang atau
sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau prilaku
yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
Selain
itu, konversi agama memuat beberapa pengertian dengan ciri-ciri:
1.
Adanya perubahan
arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang
dianutnya.
2.
Perubahan yang
terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara
berproses atau secara mendadak.
3.
Perubahan
tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke
agama lain, juga perpindahan pandangan terhadap agama yang dianutnya.
4.
Selain faktor
kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itupun disebabkan faktor
petunjuk dari yang Maha Kuasa
2)
Faktor yang
Menyebabkan terjadinya Konversi Agama
a.
Para ahli agama
menyatakan, bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama
adalah petunjuk ilahi.
b.
Menurut para
ahli sosiologi terjadinya konversi agama adalah pengaruh sosial yang terdiri
dari beberapa faktor antara lain:
1.
Pengaruh
pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non-agama.
2.
Pengaruh
kebiasaan yang rutin.
3.
Pengaruh anjuran
atau propaganda dari orang yang terdekat.
4.
Pengaruh
pemimpin keagamaan.
5.
Pengaruh
perkumpulan yang bedasarkan hobi.
6.
Pengaruh
kekuasaan pemimpin.
- Konflik Agama
1.
Pengetahuan
Agama yang Dangkal
2.
Fanatisme
3.
Agama sebagai
Doktrin.
Ada
kecendrungan di masyarakat, bahwa agama dipahami sebagai doktrin yang bersifat
normatif. Pemahaman demikian menjadikan ajaran agama sebagai ajaran yang kaku.
4.
Simbol-simbol
5.
Tokoh Agama .
Tokoh
agama kemungkinan akan mengeluarkan sejumlah fatwa agama yang dapat mengobarkan
semangat para pengikutnya.
6.
Sejarah
7.
Berebut Surga
- Terorisme dan Agama
Terorisme
berasal dari kata teror, secara etimologis mencakup arti: 1. Perbuatan
(pemerintah dan sebagainya), 2. Usaha menciptakan ketakutan, dan kekejaman oleh
seseorang atau kelompok. Sedangkan terorisme berarti penggunaan kekerasan atau
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai satu tujuan, terutama tujuan politik
(KBBI, 1990:939).
1.
Fundamentalis
Fundamentalis
menurut Thomas Meyer sebenarnya telah ada sejak modernisasi budaya sebagai
implus terbalik yang inheren. Kemudian Thomas merinci empat karakter gerakan
fundamentalis: 1) penggunaan tidak tepat atas keseluruhan isi Al Kitab, 2)
pernyataan bahwa senua teologi, agama, dan ilmu pengetahuan adalah tidak
berlaku, 3) keyakinan. 4) keyakinan yang pasti untuk membatalkan pemisahan
modern atas gereja dan negara, agama dan politik, dengan cara
menginterpretasikan agama sebagai jalan masing-masing bilamana ketentuan
hukum/politik dalam masalah krusuial bertentangan etika masing-masing.
2.
Radikalisme
Gerakan
radikalisme menuntut persamaan hak, fungsi, dan peran dengan kaum pria.
Radikalisme sebagai paham atau aliran, sebenarnya berpeluang muncul dalam
berbagai bidang kehidupan. Tuntutan terhadap perubahan yang drastis dan cepat
dapat terjadi di bidang politik, militer, ekonomi, dan sebagainya. Radikalisme
pada dasarnya merupakan gerakan pendobrak terhadap kondisi yang mapan, karena
didorong oleh keinginan untuk menciptakan suatu kondisi baru yang diinginkan,
dengan cara yang cepat.
- Fatalisme
Sikap
pasrah yang mengarah kepada fatalisme dapat dikategorikan sebagi tingkah laku
keagamaan yang menyimpang, sikap seperti ini setidaknya mengabaikan fungsi dan
peran akal secara normal. Padahal agama menempatkan akal pada kedudukan yang
tinggi. Dengan akal manusia mampu membangun peradaban melalui pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Islam sendiri dalam ajarannya memposisikan akal tuk
mengiringi keimanan dalam menentukan derajat pemeluknya. Secara psikologi , ada
sejumlah faktor yang melatarbelakangi munculnya fatalisme, yaitu:
1.
Pemahaman yang
Keliru
Sebagai
manusia biasa, para agamawan memiliki latar belakang sosio-kultural, tingkat
pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda. Dalam kondisi itu terbuka peluang
timbulnya “salah tafsir” dalam memahami pesan-pesan kitab suci maupun risalah
rasul sehingga menyebabkan fatalisme.
2.
Otoritas
Agamawan
Dalam
komunitas agama selalu ada pemimpin agama atau agamawan yang jadi panutuan
pemeluk agamanya. Umumnya reputasi ketokohan dari si pemimpin agama itu
ditentukan oleh kusntitas pendukungnya, bukan didasarkan kualitas keagamaan.
Tanpa disadari tak jarang gejala seperti itu turut berengaruh terhadap ego para
pemuka agama, popularitas yang dicapai sering dianggap sebagai sukses diri
pribadi ini harus senantiasa dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan.
Dalam
kondisi sepert ini terkadang dengan menggunakan otoritasnya yang berlebihan,
pemimpin agama terjebak kepada upaya untuk memitoskan ajaran agama. Pemimpin
agama ini berusaha menciptakan situasi psikologi pengikutnya melalui otoritas
keagamaan yang ia miliki, hingga mempengaruhi terbentuknya sikap penurut.
Inilah salah satu faktor terjadinya fatalisme dalam agama.
http://resume-buku-psi-agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar